Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Capim KPK 2019-2024
Jakarta – Ah, seandainya aku seorang Direksi atau Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kalau mau korupsi, tentu tak perlu takut terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, dengan Undang-Undang BUMN yang baru, yakni UU No 1 Tahun 2025, Direksi dan Komisaris BUMN tak boleh diperiksa KPK karena bukan penyelenggara negara.
Dalam Pasal 9G UU No 1 Tahun 2025 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No 19 Tahun 2003 Tentang BUMN disebutkan, “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.”
Pasal 3X ayat (1) UU BUMN juga menyebut, “Organ dan Pegawai BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.” Menyala, Abangku!
Ah, seandainya aku Pimpinan KPK, maka tak akan menyerah, frustrasi atau putus asa, karena masih ada jalan untuk memeriksa Direksi atau Komisaris BUMN yang terindikasi korupsi.
Sebab, KPK tunduk pada UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK yang merupakan “lex specialis” atau aturan khusus.
Dalam hukum ada asas, “lex specialis derogat legi generali” (aturan khusus mengesampingkan aturan umum). UU KPK mengesampingkan UU BUMN.
Pasal 11 ayat (1) UU KPK menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf E, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang: a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; dan/atau b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sementara itu, yang dimaksud penyelenggara negara dalam UU No 19 Tahun 2019 Tentang KPK ada pada Pasal 1 ayat (2), yakni, “Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan kekuasaan eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugasnya berkaitan dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dus, KPK masih punya jalan untuk memeriksa Direksi atau Komisaris BUMN yang terindikasi korupsi, asalkan kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatannya mencapai minimal Rp1 miliar.
KPK tidak boleh menyerah, frustrasi, apalagi putus asa. Rasa putus asa KPK tercermin dari pernyataan juru bicaranya, Tessa Mahardika Sugiarto. “KPK ini ‘kan pelaksana undang-undang. Aturan yang ada tentu harus dijalankan. Penegakan hukum tidak boleh keluar dari aturan hukum,” kata Tessa, Minggu (4/5/2025).
Korupsi Ugal-ugalan
Mungkin pemerintah dan DPR punya maksud baik ketika menyusun UU BUMN yang baru. Yakni, membebaskan Direksi dan Komisaris BUMN dari rasa takut ketika harus mengambil keputusan. Sebab, bisnis itu banyak risiko, dan keputusan yang diambil terkadang penuh spekulasi.
Agaknya pemerintah dan DPR alpa bahwa banyak Direksi dan Komisaris BUMN yang nakal. Apalagi banyak Komisaris yang bukan berasal dari profesional. Mereka banyak yang menjadi titipan politikus sebagai balas jasa atas kemenangan politikus tersebut dalam sebuah kontestasi elektoral.
Implikasinya, korupsi di BUMN pun akan lebih ugal-ugalan dan gila-gilaan. Sebut saja kasus dugaan korupsi di anak perusahaan PT Pertamina, yakni PT Pertamina Patra Niaga yang merugikan keuangan negara hingga sekitar Rp1.000 triliun.
Lalu, kasus dugaan korupsi di PT Timah Tbk yang merugikan keuangan negara hingga sekitar Rp300 triliun.
Kemudian kasus korupsi di PT Asabri yang merugikan keuangan negara hingga Rp22,78 triliun, kasus korupsi di PT Jiwasraya yang merugikan keuangan negara hingga Rp16,8 triliun, dan kasus korupsi di PT Garuda Indonesia yang merugikan keuangan negara hingga Rp9,3 triliun.
Kalau memang pemerintah dan DPR hendak melindungi Direksi dan Komisaris BUMN dari proses hukum, mengapa mereka tidak sekalian saja menghapus Pasal 11 ayat (1) huruf b supaya KPK benar-benar putus asa?
Izinkan aku bertanya!