Oleh: Karyudi Sutra Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024.
Jakarta – Kasus pertemuan Alexander Marwata dengan Eko Darmanto, yang kini sedang diusut polisi, kian menguatkan asumsi publik bahwa KPK adalah sarang penyamun.
Diketahui, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata bertemu dengan Eko Darmanto pada Maret 2023, di mana kemudian pada Desember 2023, KPK menetapkan bekas Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta ini sebagai tersangka korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Ada “conflict of interest” (konflik kepentingan) dalam pertemuan itu karena Eko sedang dalam bidikan KPK.
Kasus ini dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada 23 Maret 2024. PMJ kemudian menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan pada 5 April 2024. Sedikitnya 17 saksi sudah diperiksa KPK dalam kasus ini.
Sebelumnya, Firli Bahuri semasa menjabat Ketua KPK juga bertemu pihak yang sedang beperkara, yakni Menteri Pertanian saat itu, Syahrul Yasin Limpo. Pertemuan itu kemudian berujung pada penetapan Firli sebagai tersangka gratifikasi dan pemerasan terhadap SYL.
Saat menjadi Deputi Penindakan KPK, Firli Bahuri juga bertemu dengan pihak yang sedang beperkara dengan KPK, yakni Muhammad Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang yang saat itu menjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam kasus divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara.
Akankah Alex Marwata menyusul Firli Bahuri menjadi tersangka, dengan sangkaan yang sama: melakukan pemerasan dan menerima gratifikasi?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, Alex mengakui adanya pertemuan itu. Namun ia beralibi pertemuan tersebut sepengetahuan dan seizin Pimpinan KPK lainnya.
Tapi polisi nampaknya tak mau percaya begitu saja. Polisi berencana memanggil Alex untuk didengar keterangannya.
Baru-baru ini, Nurul Ghufron juga bermasalah dan dinyatakan melanggar kode etik oleh Dewan Pengawas KPK, sehingga Wakil Ketua KPK itu dikenai sanksi pemotongan gaji. Kasusnya adalah membantu mutasi seorang wanita Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Pertanian dari kantor pusat di Jakarta ke Malang, Jawa Timur.
Johanis Tanak, Wakil Ketua KPK lainnya, juga dilaporkan ke Dewas KPK karena berkomunikasi via “chat” dengan pihak yang sedang beperkara dengan KPK di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yakni Muhammad Idris Froyoto Sihite. Namun pengganti Lili Pimtauli Siregar ini diputus bebas oleh Dewas KPK.
Lili Pintaulli Siregar yang digantikan Tanak pun bermasalah. Wakil Ketua KPK itu menerima gratifikasi hotel dan tiket saat menonton Moto GP di Mandalika, Lombok, NTB tahun 2022 lalu. Sebelum divonis Dewas, Lili memilih mengundurkan diri.
Alex, Jumat (27/9/2024), juga dilaporkan ke Dewas KPK dan didesak untuk mengundurkan diri.
Alhasil, asumsi publik bahwa KPK merupakan sarang penyamun kian menemukan relevansinya. Habis Firli Bahuri, terbitlah Alexander Marwata.
Namun ada pertanyaan menarik ihwal KPK mengusut kasus Alexander Marwata. Seriuskah PMJ? Bukankah kasus Firli Bahuri juga terkatung-katung?
Firli sudah ditetapkan PMJ sebagai tersangka pada 22 November 2023. Namun hingga kini atau nyaris 10 bulan, bekas Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabaharkam) Mabes Polri berpangkat terakhir Komisaris Jenderal ini belum ditahan dan diajukan ke pengadilan. Apakah karena Firli bekas polisi, sehingga ada “esprit de corps” di sana?
Gembosi KPK
Ada yang menarik saat KPK melakukan rapat kerja dengan Komisi III DPR RI baru-baru ini. Saat itu Alexander Marwata menyatakan, publik jangan terlalu berharap pada KPK, karena pemberantasan korupsi di Indonesia tergantung “political will” (kemauan politik) Presiden.
Alex mencoba melempar tanggung jawab pemberantasan korupsi dari KPK ke Presiden. Sementara Presiden Jokowi sendiri tidak bertanggung jawab dengan merevisi Undang-Undang (UU) KPK dari UU No 30 Tahun 2002 menjadi UU No 19 Tahun 2019 yang justru melemahkan posisi KPK.
Ucapan Alex itu kini kian menemukan relevansinya, karena barangkali dia juga mengakui bahwa dirinya pun merupakan penyamun yang bersarang di KPK.
Alex sadar bahwa sederet Pimpinan KPK periode 2019-2024 bermasalah, mulai dari Lili Pintauli Siregar dan Firli Bahuri yang keduanya akhirnya terdepak dari KPK, hingga Nurul Ghufron, Johanis Tanak dan dirinya yang bermasalah. Lengkap sudah.
Mereka menggembosi KPK dari dalam. Ibarat KPK itu sebuah kapal, dan para Pimpinan KPK adalah nahkodanya, mereka melubangi sendiri lambung kapal KPK sehingga bocor dan lama-lama akan tenggelam. Itulah!