Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).
Jakarta – Menjadi anggota keluarga Presiden Joko Widodo seolah merupakan sebuah kutukan. Menjadi apa pun, selalu mendapat sorotan. Bahkan cibiran. Bahkan hujatan. Bahkan kutukan. Walaupun belum tentu mereka keliru.
Teranyar yang menjadi sorotan adalah dua keponakan Jokowi yang mendapat jabatan strategis di Pertamina.
Pertama, Bagaskara Ikhlasulla Arif yang merupakan putra dari Titik Relawati, adik bungsu Jokowi. Kedua, Joko Priyambodo, menantu Anwar Usman yang merupakan adik ipar Jokowi atau suami dari Idayati, adik kandung Jokowi.
Bagaskara diangkat menjadi Manager Non-government Relation PT Pertamina (Persero) sejak Maret 2024. Adapun Joko Priyambodo diangkat sebagai Direktur Pemasaran dan Operasi PT Patra Logistik, anak perusahaan Pertamina sejak 20 Mei 2024.
Apakah pengangkatan keduanya terjadi secara tiba-tiba serta beraroma kolusi dan nepotisme?
Dilansir Kompas.com, Minggu (9/6/2024), Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso memastikan Bagaskara Ikhlasulla Arif masuk ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu melalui jalur profesional pada 2021.
Jalur profesional atau “experienced hired” adalah perekrutan yang ditujukan bagi calon pekerja dengan pengalaman kerja sebelumnya di bidang tertentu.
Begitu pun Joko Priyambodo. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting mengatakan, penunjukan menantu Anwar Usman itu dilakukan sesuai ketentuan perusahaan yang berlaku.
Ia memastikan, Joko Priyambodo memiliki “track record” (rekam jejak) yang cukup baik sejak bekerja di PT Pertamina pada 2016. Joko setidaknya sudah pernah menempati beberapa posisi, di antaranya Stakeholder Relations Management PT Pertamina (Persero), Board of Director Office PT Pertamina (Persero), Sales Branch Manager Yogyakarta, dan Sales Area Manager Banten.
Sebelum ini, keberadaan Anwar Usman sebagai Hakim Konstitusi juga menjadi sorotan publik. Apalagi saat menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), adik ipar Jokowi ini memimpin sidang pembacaan Putusan No 90 Tahun 2023 tertanggal 16 Oktober 2023.
Putusan MK itu memberikan karpet merah bagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon wakil presiden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Meskipun baru berusia 36 tahun, atau belum 40 tahun, ia boleh menjadi cawapres karena sedang menjabat kepala daerah, yakni Walikota Surakarta, Jawa Tengah.
Keberadaan Gibran sebagai Walikota Sutakarta, dan menantu Jokowi, Bobby Afif Nasution sebagai Walikota Medan, Sumatera Utara, serta putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga menjadi sorotan publik. Jokowi dituding menggunakan asas manfaat atau “aji mumpung” untuk membangun dinasti politik (dan juga ekonomi?).
Mumpung atau senyampang sedang berkuasa maka Jokowi menempatkan anggota-anggota keluarganya pada jabatan-jabatan publik. Puncaknya adalah terpilihnya Gibran yang berpasangan dengan capres Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Mungkin itulah yang berkecamuk dalam benak Jokowi.
Akan tetapi, wajar jika kemudian publik menyoroti, mencibir, menghujat bahkan mengutuk Jokowi dan keluarganya yang sedang mencoba mencengkeramkan kuku-kukunya di kursi-kursi kekuasaan. Sebab, Presiden ke-2 RI Soeharto sekalipun, yang dikenal sebagai penguasa rezim Orde Baru perlu waktu 32 tahun untuk menempatkan putri sulungnya, Siti Hardiyanti Indra Rukmana alias Mbak Tutut di kursi kekuasaan, yakni sebagai Menteri Sosial. Bahkan jabatan Mbak Tutut pun hanya seumur jagung, yakni sejak 14 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998 atau saat Pak Harto “lengser keprabon”.
Sementara Jokowi hanya perlu waktu enam tahun untuk menempatkan Gibran di kursi Walikota Surakarta, dan Bobby di kursi Walikota Medan.
Bukankah jabatan walikota dan wapres yang memilih adalah rakyat?
Benar. Tapi kalau bukan anak dan menantu Jokowi, apakah Gibran dan Bobby akan dengan mudah terpilih menjadi walikota, dan Gibran kemudian terpilih menjadi wapres? Tidak.
Kalau bukan anak Jokowi, apakah dengan mudah Kaesang yang baru dua hari memegang kartu anggota tiba-tiba terpilih menjadi Ketua Umum PSI? Tidak.
Kini, ketika menjadi anggota keluarga Jokowi ibarat sebuah kutukan, mungkin perlu diterima dengan sewajarnya. Siapa menabur angin akan menuai badai.