Oleh: Malika Dwi Ana
Pendidikan di Indonesia sering kali menempatkan beban berat pada anak-anak untuk fokus belajar tanpa mempedulikan kebutuhan dasar mereka, seperti makan secara teratur. Sejak kecil, banyak anak Indonesia tidak dibiasakan untuk sarapan, bahkan makan siang pun kerap terlewat. Otak mereka dipaksa bekerja keras untuk menyerap pelajaran dalam kondisi perut kosong, yang jelas-jelas menghambat kemampuan kognitif dan perkembangan fisik. Program makan siang gratis yang digaungkan belakangan ini, meski menuai pro dan kontra, sebenarnya mengingatkan kita pada fakta sederhana: anak-anak perlu makan di sela waktu belajar. Namun, program ini tidak hanya soal “gratis”—keberadaan makan siang bergizi di sekolah adalah kebutuhan mendasar yang seharusnya sudah lama menjadi prioritas, terlepas dari embel-embel politiknya.
Tradisi yang Absen dan Dampaknya
Berbeda dengan tradisi di luar negeri, di mana anak-anak sekolah sering dijemput untuk makan siang di rumah atau disediakan makanan di kantin sekolah, di Indonesia tidak ada budaya serupa yang terstandarisasi. Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil sekolah di Indonesia, terutama di perkotaan, yang memiliki kantin dengan standar gizi memadai. Mayoritas anak sekolah di daerah pelosok atau sekolah dengan sumber daya terbatas tidak memiliki akses ke makanan bergizi selama jam sekolah. Akibatnya, banyak anak mengalami kekurangan gizi, yang berdampak pada penurunan konsentrasi, prestasi akademik, hingga risiko stunting jangka panjang.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, prevalensi stunting di Indonesia masih mencapai 21,6%, dengan angka lebih tinggi di daerah tertinggal. Salah satu penyebab utama adalah pola makan yang tidak teratur dan asupan gizi yang kurang, terutama pada anak usia sekolah. Padahal, penelitian dari World Health Organization (WHO) menegaskan bahwa asupan gizi yang cukup pada anak usia sekolah meningkatkan kemampuan kognitif hingga 20% dan mengurangi risiko gangguan perkembangan. Absennya tradisi makan siang terstruktur di sekolah Indonesia memperparah masalah ini, menjadikan program makan siang bergizi bukan sekadar opsi, melainkan keharusan.
Program Makan Siang Gratis: Solusi atau Sekadar Janji Politik?
Program makan siang gratis yang digaungkan pemerintah sejak 2024 mendapat sambutan beragam. Di satu sisi, program ini dianggap langkah progresif untuk menjamin kebutuhan gizi anak sekolah, terutama di daerah miskin. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa program percontohan di beberapa sekolah di Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur berhasil meningkatkan asupan protein dan vitamin pada siswa hingga 15% dalam enam bulan pertama. Namun, di sisi lain, program ini menuai kritik karena pelaksanaannya yang belum merata, anggaran yang dianggap rawan penyelewengan, dan kasus-kasus keracunan makanan yang mencurigakan.
Sejak program ini diluncurkan, setidaknya ada 12 laporan keracunan makanan di sekolah-sekolah di berbagai daerah, sebagaimana dilansir oleh Kompas (Oktober 2024). Kasus-kasus ini menimbulkan kecurigaan adanya sabotase, terutama karena beberapa insiden terjadi di daerah dengan dinamika politik lokal yang panas. Meski belum ada bukti konkret, spekulasi tentang sabotase tidak bisa diabaikan begitu saja, mengingat program ini sarat dengan kepentingan politik. Ketidakpatuhan terhadap standar keamanan pangan, seperti yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), juga menjadi sorotan. Laporan BPOM 2024 menunjukkan bahwa 30% penyedia makanan untuk program ini tidak memenuhi standar higienis, meningkatkan risiko kontaminasi.
Kebutuhan akan Sistem yang Transparan dan Berkelanjutan
Kritik terhadap program makan siang gratis bukan berarti menolak konsep makan siang bergizi di sekolah. Sebaliknya, ini adalah seruan untuk memperbaiki sistem. Makan siang bergizi harus menjadi bagian integral dari sistem pendidikan, bukan sekadar proyek politik jangka pendek. Pemerintah perlu memastikan standar gizi dan keamanan pangan yang ketat, melibatkan pengawasan independen, dan menjamin distribusi yang merata hingga ke daerah terpencil. Selain itu, edukasi tentang pentingnya pola makan teratur harus dimulai sejak dini, baik di sekolah maupun di keluarga.
Kasus keracunan yang diduga sabotase juga menuntut penegakan hukum yang tegas. Jika benar ada pihak yang sengaja mengganggu program ini, hal ini tidak hanya merugikan anak-anak, tetapi juga mencoreng kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah. Transparansi dalam pengelolaan anggaran dan rantai pasok makanan menjadi kunci untuk mencegah penyelewengan dan memastikan manfaat program ini sampai ke anak-anak yang membutuhkan.
Kesimpulan
Anak-anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang didukung oleh tubuh dan pikiran yang sehat. Program makan siang bergizi di sekolah, dengan atau tanpa label “gratis”, adalah langkah menuju tujuan tersebut. Namun, tanpa pengelolaan yang baik, transparansi, dan komitmen untuk mengatasi masalah seperti keracunan makanan, korupsi anggaran atau dugaan sabotase, program ini berisiko menjadi janji kosong. Sudah saatnya kita mengubah paradigma bahwa belajar tidak harus mengorbankan kebutuhan dasar seperti makan. Karena, seperti kata pepatah, “Perut kosong tidak bisa berpikir jernih.” Atau “Weteng ngelih, pikiran ngalih,” kata orang Jawa. Yang artinya kira-kira begini, “perut lapar bisa bikin pikiran ambyaarr….”(MDA)
*TerasMalawu, 28092025