Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat Kebijakan Umum Hukum dan Politik
Diskursus politik bertajuk “matahari kembar” tampaknya tak hanya menyelimuti tubuh militer, namun mulai merambat ke institusi kepolisian. Gejala perpecahan dan tarik-menarik kepentingan kekuasaan kini mengemuka di balik hiruk-pikuk transisi pemerintahan Prabowo Subianto.
Secara hirarkis, keputusan Panglima TNI adalah ad hoc dari Presiden Prabowo. Maka, ketika SK Panglima TNI Nomor Kep/554.a/IV/2025 tertanggal 30 April 2025 membatalkan mutasi Letjen Kunto Arief Wibowo—yang sehari sebelumnya telah diterbitkan melalui SK Nomor Kep/554/IV/2025—muncul pertanyaan besar: adakah kekuatan lain yang mencoba bermain di luar kendali komando presiden?
Pembatalan mutasi ini bukan sekadar urusan administrasi internal. Ia mengandung deskripsi tentang adanya pergesekan halus, tapi tajam, antara kekuatan politik di internal Kabinet Merah Putih (KMP). Terutama dari kelompok tertentu yang menyimpan ambisi tersembunyi untuk menelikung kekuasaan Prabowo melalui manuver-manuver senyap, namun sistematis.
Namun, keputusan pembatalan ini juga sekaligus menunjukkan karakter kepemimpinan Prabowo: tak mudah didikte, bahkan oleh sosok bayangan yang selama ini diasumsikan sebagai matahari kedua. Ia mengambil sikap—bukan sekadar defensif, tapi ofensif—dalam melindungi marwah dan stabilitas pemerintahannya.
Gejala politik hukum yang kian telanjang ini juga tersambung dengan dinamika di tubuh Polri. Investigasi oleh penyidik terhadap anggota Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), yang sebelumnya melaporkan Presiden Jokowi ke Bareskrim atas dugaan penggunaan ijazah palsu, menjadi sinyal kuat bahwa garis politik telah melengkung lebar. Ada upaya kontra yang hendak melemahkan kekuatan sipil yang mulai kritis terhadap matahari lama.
Menariknya, keterkaitan antara pencopotan Letjen Kunto dan manuver politik terhadap Gibran Rakabuming Raka juga patut dicermati. Sebab, nama besar Try Sutrisno—ayah Letjen Kunto dan eks Wapres era Orde Baru—disebut berada di antara para purnawirawan jenderal yang mengusulkan pencopotan Wapres muda itu.
Prabowo, tampaknya sadar akan bahaya keretakan horizontal ini. Ia mulai memotong jalur-jalur koordinasi yang dicurigai sebagai saluran kekuatan matahari kembar, baik di tubuh TNI maupun Polri. Langkah ini—meski berisiko tinggi—dapat menjadi kunci menjaga stabilitas nasional.
Jika ketegangan ini dibiarkan menjalar lebih dalam, bukan tak mungkin akan terjadi gangguan serius terhadap pemerintahan yang sah. Maka, mayoritas rakyat niscaya akan mendukung segala diskresi presiden untuk menggulung kekuatan matahari kembar—yang kini cahayanya mulai meredup—hingga padam sepenuhnya. Apapun risikonya.