Bill Murray, seorang aktor dan komedian, pernah melontarkan kutipan yang beredar luas di berbagai platform: “Ketika pemerintah tidak membayar utang kepada rakyat, itu disebut politik. Tetapi ketika rakyat tidak membayar utang kepada pemerintah, itu disebut kejahatan.” Pernyataan ini mencerminkan ketimpangan struktural yang mengakar dalam sistem ekonomi dan politik modern.
Negara Sebagai Peminjam yang Tidak Bertanggung Jawab
Sepanjang sejarah, banyak negara yang gagal membayar kewajibannya kepada rakyat. Contoh paling nyata adalah kasus obligasi negara, tabungan rakyat dalam skema asuransi sosial, dana pensiun, atau janji kesejahteraan yang terus-menerus ditunda atau dipangkas dengan alasan defisit anggaran. Di negara-negara berkembang, dana publik yang dikorupsi atau disalahgunakan oleh pemerintah sering kali berakhir dengan rakyat yang harus menanggung konsekuensinya melalui pajak yang semakin tinggi atau pemotongan subsidi.
Sebaliknya, ketika negara menghadapi krisis keuangan, solusi yang sering digunakan adalah mencetak uang lebih banyak, menaikkan pajak, atau bahkan meminta utang baru kepada lembaga keuangan internasional. Tidak jarang pula pemerintah mengeluarkan kebijakan kontroversial seperti “bailout” untuk korporasi besar yang mengalami kesulitan keuangan, sementara rakyat kecil yang mengalami kesulitan ekonomi dibiarkan berjuang sendiri.
Rakyat sebagai Debitur yang Tidak Dapat Ditoleransi
Di sisi lain, rakyat yang gagal membayar utangnya kepada negara, baik dalam bentuk pajak, pinjaman pendidikan, atau kredit usaha kecil, tidak diberikan kelonggaran yang sama. Bahkan, individu yang mengalami kebangkrutan akibat sistem yang timpang sering kali dikriminalisasi dan diperlakukan lebih buruk dibandingkan dengan entitas korporasi yang melakukan kejahatan finansial dalam skala besar.
Hutang pajak yang menunggak bisa berujung pada penyitaan aset dan pemenjaraan. Kredit macet yang dialami individu sering kali berakhir dengan daftar hitam yang menghancurkan reputasi finansial seseorang, mempersulit akses mereka ke layanan keuangan di masa depan. Namun, perusahaan besar yang gagal membayar utangnya justru sering mendapat keringanan atau restrukturisasi dari pemerintah, bahkan mendapat suntikan dana publik agar tetap bertahan.
Standar Ganda dalam Ekonomi dan Hukum
Fenomena ini menunjukkan adanya standar ganda dalam sistem ekonomi dan hukum yang diterapkan oleh negara. Pemerintah memiliki keleluasaan untuk mengubah aturan ketika mereka gagal memenuhi kewajibannya, tetapi rakyat tidak mendapatkan hak yang sama ketika mereka mengalami kesulitan ekonomi. Sistem ini mencerminkan realitas bahwa negara, dalam banyak hal, bukanlah entitas yang netral melainkan alat yang sering kali digunakan untuk melindungi kepentingan segelintir elit politik dan ekonomi.
Jika negara benar-benar berfungsi sebagai pelayan rakyat, seharusnya ada keadilan dalam perlakuan terhadap kewajiban finansial. Jika negara dapat menghindari kewajibannya dengan alasan politik atau ekonomi, maka rakyat pun seharusnya mendapatkan kesempatan untuk menegosiasikan kewajiban finansialnya dengan negara tanpa harus menghadapi konsekuensi hukum yang berat.
Kesimpulan
Ketika negara gagal membayar utangnya kepada rakyat, kita diajak untuk memahami bahwa ini adalah bagian dari “realitas politik” yang harus diterima. Namun, ketika rakyat gagal memenuhi kewajibannya kepada negara, mereka segera dicap sebagai pelanggar hukum dan dikenakan sanksi. Fenomena ini bukan hanya mencerminkan ketidakadilan sistemik, tetapi juga menegaskan bagaimana hukum sering kali digunakan sebagai alat untuk melindungi kepentingan negara, bukan rakyatnya.
Jika keadilan ekonomi dan sosial benar-benar menjadi tujuan negara, maka diperlukan reformasi kebijakan yang memastikan bahwa rakyat tidak selalu menjadi pihak yang menanggung beban terberat dari kegagalan negara. Sampai saat itu tiba, kutipan Bill Murray akan tetap relevan sebagai pengingat akan ketimpangan yang terus berlangsung dalam hubungan antara negara dan warganya.