Demokrasi, sebagai konsep politik dan sosial, telah mengalami banyak evolusi sepanjang sejarah. Namun, esensinya tetap berpusat pada kekuasaan yang berada di tangan rakyat, di mana keputusan pemerintah ditentukan oleh suara mayoritas melalui mekanisme yang adil dan transparan. Dalam praktiknya, demokrasi di setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda, disebabkan oleh perbedaan budaya, sejarah, serta konteks sosial-politik setempat. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa diksi “demokrasi” tidak dapat dilihat secara monolitik. Hal ini sejalan dengan teori semiotika, di mana makna sebuah tanda atau simbol, seperti demokrasi, baru dapat dipahami sepenuhnya ketika disandingkan dengan tanda lainnya. Demokrasi Amerika, misalnya, berbeda dalam implementasinya dari demokrasi Indonesia, Jepang, atau China.
Demokrasi dalam Perspektif Semiotika
Menurut Ferdinand de Saussure, seorang tokoh penting dalam kajian semiotika, makna sebuah tanda atau simbol terbentuk melalui relasi antara signifier (penanda) dan signified (yang ditandai). Dalam konteks ini, demokrasi adalah penanda, sementara maknanya bervariasi tergantung pada konteks yang melingkupinya. Dengan kata lain, pemahaman atas demokrasi baru dapat diformulasikan sepenuhnya jika kita menyandingkannya dengan bentuk-bentuk demokrasi lain. Misalnya, demokrasi Amerika yang berbasis pada liberalisme politik dan ekonomi dengan fokus pada kebebasan individu dan pasar bebas, sangat berbeda dengan demokrasi di negara-negara seperti Jepang, yang memiliki sistem parlementer dengan dinamika politik yang lebih konsensual dan berbasis komunal.
Bahkan lebih kontras lagi, demokrasi di China sering disebut sebagai “demokrasi terkontrol” atau socialism with Chinese characteristics, di mana pemerintah masih memegang kendali penuh meski beberapa elemen demokratis, seperti partisipasi rakyat melalui lembaga konsultatif, tetap ada. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi bukanlah konsep universal dengan satu bentuk tunggal, melainkan sebuah spektrum yang dipengaruhi oleh faktor internal setiap negara.
Demokrasi Indonesia: Antara Tradisi dan Modernitas
Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan mayoritas Muslim, memiliki perjalanan demokrasi yang unik. Sejak era Reformasi 1998, demokrasi Indonesia terus berkembang meski mengalami tantangan internal seperti korupsi, ketimpangan sosial, dan konflik kepentingan di kalangan elit politik. Demokrasi di Indonesia berakar pada falsafah Pancasila yang menekankan kebersamaan, gotong royong, dan musyawarah untuk mufakat. Hal ini berlawanan dengan demokrasi liberal yang mengutamakan hak individu di atas segalanya.
Dalam konteks ini, Prabowo Subianto, sebagai salah satu tokoh politik terkemuka Indonesia, memperkenalkan konsep “demokrasi yang santun dan khas Indonesia.” Menurutnya, demokrasi Indonesia haruslah demokrasi yang menghargai perbedaan tanpa menciptakan permusuhan. Hal ini sejalan dengan tradisi budaya Indonesia yang selalu mengedepankan harmoni sosial dan musyawarah sebagai alat penyelesaian konflik.
Prabowo menekankan bahwa demokrasi yang sehat tidak hanya soal proses pemilihan yang adil, tetapi juga tentang bagaimana perbedaan pendapat dapat dihargai tanpa menimbulkan kebencian atau kekerasan. Demokrasi yang santun ini, menurut Prabowo, adalah demokrasi yang sejuk, damai, dan inklusif, di mana rakyat dapat bebas dari rasa takut, kemiskinan, dan penindasan.
Demokrasi Santun dalam Teori Kepemimpinan Prabowo
Pandangan Prabowo ini dapat dikaitkan dengan konsep deliberative democracy, di mana keputusan politik sebaiknya diambil melalui diskusi yang terbuka dan partisipatif, bukan melalui konflik atau konfrontasi. Demokrasi deliberatif mengutamakan diskusi rasional, kebebasan berbicara, dan persamaan hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses politik. Ini relevan dengan gagasan Prabowo bahwa demokrasi Indonesia haruslah demokrasi yang santun dan penuh dengan penghargaan terhadap perbedaan.
Selain itu, demokrasi yang dikemukakan Prabowo mengandung elemen communitarianism, yaitu pandangan bahwa kebebasan individu harus diseimbangkan dengan tanggung jawab sosial dan komunitas. Demokrasi santun khas Indonesia bukanlah demokrasi yang mendorong individualisme yang ekstrem, melainkan demokrasi yang menjaga keseimbangan antara hak individu dan kepentingan kolektif. Hal ini mencerminkan semangat Pancasila, di mana nilai kebersamaan dan gotong royong sangat dihargai.
Tantangan dan Peluang Demokrasi Indonesia
Namun, dalam praktiknya, demokrasi Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Ketidakadilan ekonomi, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi sistemik masih menjadi hambatan utama dalam mewujudkan demokrasi yang sejuk dan damai seperti yang diimpikan Prabowo. Demokrasi yang santun hanya dapat tercapai jika ada kemauan politik untuk memberantas korupsi, meningkatkan kualitas pendidikan politik masyarakat, dan memperkuat lembaga-lembaga negara yang bertugas menjaga demokrasi tetap sehat.
Di sisi lain, peluang untuk mewujudkan demokrasi santun juga terbuka lebar. Kekuatan budaya Indonesia yang menjunjung tinggi nilai gotong royong, toleransi, dan musyawarah dapat menjadi landasan kuat bagi terciptanya demokrasi yang tidak hanya formal, tetapi juga substansial. Dengan mendorong partisipasi publik yang lebih inklusif, transparansi dalam pemerintahan, serta penegakan hukum yang tegas terhadap para pelanggar hukum, Indonesia dapat mewujudkan demokrasi yang lebih matang.
Kesimpulan
Teori demokrasi baru akan sepenuhnya dapat dipahami jika dikaji melalui pendekatan semiotika, di mana perbedaan makna muncul dari kontras dengan bentuk-bentuk demokrasi lainnya. Dalam konteks Indonesia, demokrasi tidak hanya berfungsi sebagai sistem politik, tetapi juga sebagai cerminan nilai-nilai sosial dan budaya yang khas. Gagasan Prabowo tentang “demokrasi santun dan khas Indonesia” menawarkan visi yang lebih harmonis dan inklusif, di mana rakyat bebas dari rasa takut dan perbedaan pendapat dihargai tanpa menciptakan konflik. Untuk mewujudkan demokrasi yang demikian, dibutuhkan komitmen kuat dari semua elemen bangsa untuk terus memperbaiki diri, bekerja sama, dan menjaga persatuan.