Saat ini banyak yang bermimpi menggugat Ketentuan Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,
Pasal tersebut menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Bagaimana mungkin, bukan mimpi disiang bolong, bila impinya inginkan jadi O% untuk syarat ambang batas itu!?.
Bukan rahasia umum lagi, bahwa para Elit saat ini khususnya para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih, adalah mereka hasil Demo with Crazy. Kebanyakan dari mereka yang terpilih dan dimenangkan oleh Modal Utamanya yaitu MUAHAR (Ongkos yang Fantastik) bukan fakror lain. Coba hitung berapa ongkos politiknya, mulai oleh biaya tes kepatutan dan kelayakan saat pertama kali mendaftar ikut mencalonkan diri sebagai Elit apakah tidak Fantastik? Apakah hasil tesnyaa BENERAN gunakan dan memenuhi syarat ketentuan dan aturan NORMATIF? atau acuannya cumpa pada pasal 86 alias PENGKONDISIAN.
Bila faktanya calon ELIT yg diloloskan itu, adalah mereka yang level berfikirnya Down Grade bahkan Pasien Jiwa yang cenderung Psikopat, berarti yang digunakan bukan lagi ukuran hasil diagnosa para Ahli Cognitif dan Behavior seperti Ukuran Talents Mapping dan Level Of Thinkingnya, tapi Penentu Utamanya adalah Jumlah besaran MUAHARnya sehingga akhirnya bisa dilegalitsir dengan Ok sajalah atau dengan code ucapan “86”. Jadi jangan heran bila ada Calon Elit Tunggal, seng ada lawan dan Numero Uno. Yang bikin mirisnya lagi bila hasil uji MMPI (Minnesota Multiphasic Persinality Inventory) tentang kondisi kesehatan jiwa raganya diabaikan, ngeri bukan?
Tapi Nyatanya merekalah pemenangnya sebagai Elit negeri walau tanpa Bakat, Etika, Keahlian dan Kompetensi bahkan tanpa Mental Idiologi yang jelas atau bahkan Berfaham Radikal kiri atau Kanan, yang jelas tetap bisa mempunyai SK dan Hak memberikan saran serta masukan atau membuat undang-undang bahkan ikut memutuskan putusan strategis buat negara dan bangsa.
Ketika para Down grade dan para Pasien jiwa yang cenderung Psikopat (tak munya empati) atau para Radikalis yang menang dan kebanyakannya mereka mengisi kursi ELIT negeri, maka jangan harap punya Awareness atau kepedulian pada rakyat yang diwakilinya, pastinya SEPERTI MIMPI DISIANG BOLONG”.
Lalu bagaimanakah sikap para Tekong atau BANDAR Penyokong?
Mereka para Pasien ADIKSI (kecanduan) yang selalu haus akan popularitas, kekuasaan, tahta, harta dan kesenangan duniawi lainya akan selalu berusaha sekuat tenaga dan fikirannya bahkan akan tega korbankan segalanya termasuk idiologinya atau keyakinannya bahkan keTuhanannya, merekapun kasak kusuk cari dukungan pada beragam pihak dengan beragam cara pula bukan hanya cara jual diri dan nyari simpati dengan meragam iklan diri, cara klenik atau tahayulpun mereka lakoni atau berkongsi dengan kuasa-kuasa roh jahat atau dengan kepala penjahat dan atau bandar lokal serta bandar luar yang menyamun jadi pengusaha mereka juga berkongsi apapun syaratnya asal mereka bisa membantu menangkan kursi jabatan Elit yang strategis.
PENGKONDISIAN
Para kepala penjahat dan penyamun itu tentu saja menyambut mereka yang ingin berkuasa dan haus akan segalanya tadi dengan gembira dan penuh suka cita serta berbunga-bunga karena aja jalan mudah “kuasa jahat” seolah menghapirinya.
Mulailah para tekong atau bandar itu berkumpul berembuk memilah dan memilih siapakah yang patut dan layak mereka dukung dan dimenangkan demi kepentingan para pihak pendukung itu sendiri, caranya tentu saja dengan cara klasik pengkondisian atau cipta kondisi yang melibatkan para ahli strategi tapi minim mental idiologi yang sudah menjadi down line atau antek-anteknya dan jongosnya agar membuat program pemenangan untuk suksesi calon Jagoannya, turunlah dana tak berseri bila dibandingkan rakyat pemimpi yang tak punya modal pasti selain mental idiologi yang itupun belum teruji bahkan masih wara wiri kesana kemari dengan arah yang tak pasti.