Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024.
Jakarta, Fusilatnews – Perut kenyang mengantuk, perut lapar mengamuk.
Demikianlah. Tak terkecuali hakim yang merupakan wakil Tuhan di muka bumi ini. Ketika urusan perut terkendala, mereka pun murka.
Mereka kemudian melancarkan aksi mogok massal sidang, 7-11 Oktober 2024. Sebanyak 1.748 hakim, dari total sekitar 8.000 hakim di Indonesia, yang tergabung dalam Solidaritas Hakim Indonesia (SHI), mogok sidang. Mereka menuntut kenaikan gaji dan tunjangan hingga 142% yang sejak 2012 tidak naik. Jika tidak dipenuhi, mereka mengancam akan melakukan aksi lanjutan yang jauh lebih besar lagi.
“Seandainya tidak sesuai dengan tuntutan rekan-rekan hakim, akan kami perpanjang gerakan,” kata Koordinator SHI Aji Prakoso usai melakukan audiensi dengan Kementetian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Jakarta, Senin (7/10/2024.
Sebenarnya ada lima tuntutan yang diusung para hakim yang mogok sidang itu. Selain kenaikan tunjangan jabatan hingga 142%, keempat tuntutan lainnya adalah revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung (MA).
Lalu, pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim, pengesahan RUU “Contempt of Court” atau Pelecehan Peradilan, dan terakhir mendorong penyusunan PP Jaminan Keamanan Hakim.
Para wakil Tuhan itu meresahkan 11 hal. Yakni, gaji dan tunjangan yang tidak memadai; inflasi yang terus meningkat; tunjangan kinerja yang hilang sejak 2012; tunjangan kemahalan yang tidak merata; beban kerja dan jumlah hakim yang tidak proporsional: kesehatan mental; harapan hidup hakim menurun; rumah dinas; dan fasilitas transportasi yang tidak memadai.
Gayung bersambut. Pemerintah pun langsung berkomitmen mengabulkan sebagian tuntutan para hakim itu, terutama kenaikan gaji dan tunjangan hakim hingga 142%. Nah, lho!
Mengapa 12 Tahun Tak Naik?
Mengapa selama 12 tahun pemerintah tak kunjung menaikkan gaji hakim? Ada sejumlah kemungkinan.
Pertama, mungkin saja karena gaji hakim di Indonesia dianggap sudah cukup besar. Sebab, gaji seorang hakim, dikutip dari sebuah sumber, bisa berkisar Rp126 juta hingga Rp542 juta per tahun. Bagi hakim agung, jumlah itu masih ditambah dengan honorarium per perkara yang diadilinya, plus tunjangan jabatan yang mencapai Rp72,8 juta per bulan.
Kedua, mungkin kinerja hakim di Indonesia dianggap masih rendah. Sudah begitu, banyak hakim yang terlibat korupsi pula.
Data MA, sepanjang 2010-2022, ada sedikitnya 21 hakim yang terlibat korupsi. Itu belum termasuk tahun 2023-2024. Bahkan hakim agung pun terlibat korupsi, yakni Gazalba Saleh dan Sudradjad Dimyati.
Ketiga, tak ada jaminan kenaikan gaji hakim akan meningkatkan performa, integritas dan profesionalitas hakim. Bahkan sering kali para hakim mengingkari hati nuraninya. Banyak koruptor besar dibebaskan. Sebaliknya, banyak rakyat kecil yang tak bersalah dipenjarakan.
Sebab itulah, sejak 2012 pemerintah terkesan berleha-leha dan enggan menaikkan gaji hakim, sampai kemudian datang ancaman itu: mogok sidang!
Pertanyaannya, apakah ada jaminan jika gaji dan tunjangan hakim nanti jadi naik 142%, lalu tak ada lagi hakim yang korupsi?
Ternyata kesejahteraan tak selalu paralel dengan tingkat korupsi. Betapa banyak pejabat yang gajinya tinggi ternyata masih korupsi juga.
Ada dua motif korupsi, yakni korupsi karena kebutuhan atau “corruption by need”, dan korupsi karena keserakahan atau “corruption by greed”. Nah, di Indonesia mayoritas kasus korupsi motifnya adalah keserakahan. Jadi, tak ada jaminan kenaikan gaji dan tunjangan hakim akan menjadikan mereka tidak korupsi lagi.
Tak hanya di yudikatif di mana jumlah hakim yang korupsi mencapai sedikitnya 21 orang, korupsi juga marak di eksekutif dan legislatif.
Sejak awal era Reformasi hingga kini, sudah puluhan menteri terlibat korupsi. Tak hanya Menteri Pemuda dan Olahraga serta Menteri Kesehatan yang mengurus soal fisik atau raga manusia, tetapi juga Menteri Sosial yang mengurus sosial manusia, dan Menteri Agama yang mengurus mental dan moral atau akhlak manusia.
Sejauh ini ada dua Menpora yang terlibat korupsi, yakni Andi Mallarangeng dan Imam Nahrawi. Ada seorang Menkes yang terlibat korupsi, yakni Siti Fadilah Supari.
Ada dua Menag yang terlibat korupsi, yakni Said Agil Husein Al Munawar dan Suryadharma Ali.
Ada tiga Mensos yang terlibat korupsi, yakni Bachtiar Chamsyah, Idrus Marham dan Juliari Batubara.
Sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) digelar secara langsung tahun 2004 hingga kini, sudah sekitar 400 kepala daerah dan wakil kepala daerah terlibat korupsi, mulai dari bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, hingga gubernur/wakil gubernur.
Itu di eksekutif. Di legislatif, sudah ada ratusan anggota DPR RI dan DPD RI yang terlibat korupsi. Di daerah, sudah sekitar 3.700 anggota DPRD (kabupaten/kota/provinsi) terlibat korupsi.
Kini, ketika pihak yudikatif mengusulkan kenaikan gaji dan tunjangan hingga 142%, pihak eksekutif dan legislatif pun oke-oke saja. Ada apa?