*Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212*
Ribuan hakim di Indonesia memulai aksi mogok massal dari tanggal 7 hingga 11 Oktober 2024. Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) menjelaskan bahwa aksi ini bertujuan untuk menuntut peningkatan kesejahteraan dan tunjangan yang belum mengalami kenaikan sejak tahun 2012, atau sekitar dua tahun sebelum Jokowi menjadi presiden. Pihak Mahkamah Agung menyebut aksi mogok ini sebagai cuti massal yang terjadi secara bersamaan.
Para hakim menuntut peningkatan tunjangan dan pendapatan per kapita, yang artinya apabila tuntutan ini dipenuhi, masalah akan selesai. Tindakan mogok ini dianggap sebagai bentuk tekanan kolektif agar permintaan mereka diakui dan dikabulkan. Namun, para pengamat mempertanyakan waktu pelaksanaan aksi ini yang terjadi menjelang akhir masa jabatan Presiden Jokowi, ketika ia kemungkinan besar akan menghadapi banyak tuntutan hukum.
Mengenai etika mogok kerja oleh para hakim, setiap individu berhak memiliki pendapat masing-masing. Hal ini berkaitan dengan hubungan hukum antara publik dan pejabat publik, merujuk pada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Namun, penilaian akhir tentang etis tidaknya tindakan para hakim ini berada dalam domain Dewan Etik Hakim di Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Terlepas dari itu, aksi mogok massal oleh para hakim ini semakin memperjelas kekacauan dalam kepemimpinan Jokowi. Pola leadership yang amburadul terlihat di banyak sektor, tidak hanya dalam penegakan hukum dan politik—seperti kasus korupsi, kriminalisasi, gratifikasi, dan nepotisme—tetapi juga dalam administrasi publik dan sistem ketatanegaraan.
Fenomena ini menandai jejak sejarah buruk dalam kepemimpinan Jokowi. Oleh karena itu, pasca lengsernya, Jokowi tidak layak menerima tanda jasa negara. Sebaliknya, ia harus menghadapi proses hukum demi memastikan kepastian hukum, manfaat, dan keadilan di Indonesia.