Hari ini, bangsa Indonesia menyaksikan akhir dari pemerintahan Joko Widodo, sebuah babak politik yang, menurut banyak pihak, lebih banyak meninggalkan luka daripada prestasi. Di seluruh penjuru negeri, terpampang baliho dan spanduk bertuliskan “Terima Kasih Jokowi” seolah-olah menandakan akhir yang manis. Namun, di balik tulisan tersebut, realitas berbicara sebaliknya. Alih-alih rasa syukur, banyak rakyat justru merasakan kekecewaan mendalam terhadap keadaan negara yang semakin memburuk di bawah rezim Jokowi.
Lima tahun terakhir kepemimpinan Jokowi dihantui oleh memburuknya perekonomian nasional. Ekonomi Indonesia yang semula diproyeksikan menjadi salah satu yang terkuat di Asia Tenggara, justru mengalami stagnasi dan kemunduran. Pertumbuhan ekonomi yang lamban, tingginya tingkat pengangguran, dan melonjaknya angka kemiskinan menandai kegagalan rezim ini dalam mewujudkan janji-janjinya. Menurut data terbaru, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai lebih dari 27 juta jiwa, angka yang mengkhawatirkan mengingat janji Jokowi untuk mengentaskan kemiskinan. Ironisnya, ketimpangan sosial semakin terasa, dengan kesenjangan ekonomi yang terus melebar antara yang kaya dan yang miskin.
Ekonomi yang Memburuk
Ekonomi yang stagnan dan melemah adalah salah satu indikator utama kegagalan pemerintahan ini. Pertumbuhan ekonomi yang sempat dijanjikan mencapai 7% nyatanya tidak pernah terwujud, bahkan di bawah pemerintahan Jokowi, angka tersebut hanya berkisar antara 4-5% dan terus tertekan oleh berbagai faktor eksternal dan internal. Dampak pandemi memang tak terelakkan, namun kebijakan ekonomi yang tidak tepat dan bergantung pada utang luar negeri semakin memperburuk keadaan.
Utang negara yang membengkak menjadi beban besar yang harus ditanggung oleh generasi mendatang. Data resmi menyebutkan bahwa utang pemerintah Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari Rp 8.000 triliun, sebuah jumlah yang signifikan dan mengkhawatirkan. Utang yang semakin menggunung ini menggerogoti pendapatan negara, di mana sebagian besar pendapatan nasional digunakan untuk membayar bunga dan cicilan utang ketimbang untuk pembangunan atau program kesejahteraan sosial. Dengan jumlah pendapatan negara yang tidak sebanding dengan beban utang, pemerintah masa depan akan sangat kesulitan membalikkan keadaan ini.
Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial yang Kian Memburuk
Di era pemerintahan Jokowi, ketimpangan sosial semakin meruncing. Janji untuk menciptakan lapangan pekerjaan ternyata hanya janji kosong yang tidak pernah terwujud. Di sektor padat karya, seperti manufaktur dan tekstil, justru terjadi pengurangan tenaga kerja secara besar-besaran akibat penutupan pabrik dan rendahnya minat investasi. Hal ini berimbas langsung pada meningkatnya pengangguran dan turunnya daya beli masyarakat, yang kemudian mengakibatkan pertumbuhan ekonomi semakin terhambat.
Kesenjangan sosial di Indonesia juga semakin lebar, dengan kelompok elit yang semakin kaya sementara rakyat kecil semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar mereka. Data BPS menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan, yang diukur dengan indeks Gini, masih berada pada level yang mengkhawatirkan. Dalam konteks ini, program-program yang seharusnya bertujuan mengentaskan kemiskinan justru tidak berjalan efektif, dan hanya memperkuat kelompok oligarki yang semakin kuat di bawah pemerintahan Jokowi.
Utang Negara Membengkak, Pembangunan Hanya Berbasis Citra
Salah satu warisan terbesar Jokowi yang sering diiklankan adalah pembangunan infrastruktur, mulai dari jalan tol, bandara, hingga ibu kota baru di Kalimantan. Namun, pembangunan ini tidak diiringi dengan perencanaan yang matang dan analisis dampak ekonomi yang baik. Banyak proyek infrastruktur yang pada akhirnya menjadi beban keuangan negara karena tingginya biaya operasional dan rendahnya tingkat keuntungan yang dihasilkan. Proyek Ibu Kota Nusantara, misalnya, menjadi simbol kebijakan yang lebih berfokus pada pencitraan ketimbang manfaat langsung bagi rakyat.
Pendanaan untuk proyek-proyek ini kebanyakan berasal dari utang luar negeri, yang justru menambah beban utang negara. Utang yang terus menumpuk ini semakin memberatkan kondisi fiskal negara. Tidak hanya itu, dengan rendahnya tingkat pendapatan negara, Indonesia menghadapi risiko gagal bayar di masa depan. Alih-alih menjadi negara yang mandiri secara ekonomi, Indonesia justru semakin bergantung pada utang dan investasi asing untuk mempertahankan stabilitas makroekonomi.
Sektor Kinerja yang Buruk
Seluruh sektor perekonomian di bawah pemerintahan Jokowi mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran. Sektor pertanian, yang seharusnya menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, gagal dikembangkan secara maksimal. Indonesia, yang dulunya dikenal sebagai negara agraris dan pengekspor komoditas utama dunia, kini menjadi negara pengimpor berbagai kebutuhan pokok seperti beras, garam, dan jagung. Ini menjadi ironi besar bagi sebuah negara dengan sumber daya alam yang melimpah.
Di sektor manufaktur, kita menyaksikan penurunan kontribusi industri terhadap PDB nasional. Banyak pabrik yang tutup dan relokasi keluar negeri akibat ketidakmampuan pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Hal ini menyebabkan penurunan ekspor dan peningkatan impor barang-barang industri, yang pada akhirnya membebani neraca perdagangan Indonesia.
Kegagalan dalam Penegakan Hukum dan Tata Kelola
Selain sektor ekonomi, penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan selama masa Jokowi juga mendapat sorotan tajam. Kebijakan yang inkonsisten, korupsi yang merajalela, dan kontrol pemerintah terhadap lembaga-lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi catatan buruk dalam sejarah pemerintahan ini. Rezim Jokowi dianggap gagal dalam menjaga supremasi hukum, di mana hukum lebih sering digunakan sebagai alat politik ketimbang sebagai instrumen keadilan.
Penyusutan kebebasan sipil juga semakin jelas terlihat, terutama dengan adanya upaya untuk membungkam kritik dan protes terhadap pemerintah. Ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yang sejatinya harus melindungi hak rakyat untuk bersuara dan menyampaikan pendapat.
Penutup: Waktu untuk Refleksi
Ketika kita melihat akhir dari pemerintahan Jokowi, penting untuk melakukan refleksi mendalam mengenai masa depan bangsa ini. Baliho-baliho terima kasih yang menghiasi sudut-sudut kota mungkin merupakan bentuk apresiasi sebagian kecil masyarakat, tetapi di balik itu, kenyataan yang dirasakan oleh mayoritas rakyat Indonesia sangat berbeda. Ekonomi yang memburuk, kemiskinan yang meningkat, utang yang membengkak, dan kerusakan sosial adalah warisan yang akan kita tanggung bersama.
Jokowi mungkin akan dikenang sebagai presiden yang membangun banyak infrastruktur, namun ia juga akan dikenang sebagai pemimpin yang meninggalkan Indonesia dengan masalah-masalah struktural yang lebih dalam, yang memerlukan waktu lama untuk diperbaiki. No, thank you, regime Jokowi. Rakyat tidak ingin terus berada dalam kebijakan yang menjerumuskan mereka ke dalam kesulitan yang lebih dalam.