Yang membuat Jokowi lega dan bahagia saat berkuasa, konon, yang merasa puas jumlahnya 75%. Tetapi sebaliknya, setelah lengser, yang justru melelahkan, merisaukan, dan malah mengerikan dirinya adalah menghadapi tuntutan dari kelompok-kelompok elit intelektual, yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Mengapa bisa terjadi seperti itu? Jika tirainya kita ungkap, maka terang benderang ada produk dusta-dusta yang dia buat sendiri.
Ketika Jokowi berkuasa, dukungan 75% dari rakyat Indonesia memberikan ilusi stabilitas yang kuat, namun di balik itu terdapat dinamika yang lebih rumit. Dalam teori political legitimacy, dukungan besar ini seharusnya memberikan kekuatan kepada seorang pemimpin. Namun, saat masa jabatannya berakhir, tantangan utama datang dari kelompok kecil, kurang dari 25%, yang menuntut akuntabilitas. Mereka mewakili apa yang dikenal dalam teori discontent mobilization, di mana ketidakpuasan dapat membangkitkan gerakan sosial yang signifikan.
Kini, mereka yang merasa terpinggirkan tersebut menjadi simbol perlawanan yang kuat. Dalam konteks counter-hegemonic movements, meskipun kecil, mereka dapat mengubah narasi politik. Penuntutan hukum yang mereka ajukan menunjukkan bahwa meski tanpa dukungan mayoritas, mereka memiliki agency yang kuat. Dalam sistem demokrasi, suara kelompok kecil ini mencerminkan adanya ketidakpuasan mendalam terhadap kepemimpinan Jokowi yang mungkin tidak sepenuhnya memahami kebutuhan mereka.
Kondisi ini juga menunjukkan fenomena political polarization, di mana masyarakat terbelah antara pendukung setia dan yang menuntut perubahan. Suara-suara yang terpinggirkan ini tidak hanya merepresentasikan ketidakpuasan, tetapi juga harapan untuk keadilan dan akuntabilitas. Dalam konteks ini, kelompok kecil ini tidak hanya meresahkan, tetapi mereka juga mewakili civil society yang lebih luas yang mulai menuntut transparansi dan reformasi.
Melihat dari sudut pandang hegemony theory, Jokowi perlu menyadari bahwa kekuasaan dapat dengan cepat bergeser, terutama ketika ada suara-suara yang menuntut keadilan dan mengancam stabilitas yang selama ini dibangunnya. Ketika dukungan 75% mulai memudar, kelompok kecil ini mengingatkan kita bahwa dalam politik, suara yang paling kecil pun bisa menjadi ancaman yang signifikan. Untuk itu, Jokowi harus merespons tuntutan mereka secara bijak agar tidak kehilangan legitimasi dan dukungan publik di akhir masa jabatannya.
Dalam menghadapi tantangan ini, komunikasi yang transparan dan terbuka akan menjadi kunci. Membangun jembatan dengan kelompok-kelompok ini, serta mendengarkan aspirasi dan keluhan mereka, dapat membantu mengembalikan kepercayaan publik. Jika Jokowi gagal mengelola ketidakpuasan ini, bukan tidak mungkin sejarah akan mencatatnya sebagai pemimpin yang mengabaikan suara rakyat, terjebak dalam ilusi dukungan mayoritas, dan akhirnya menghadapi konsekuensi dari tindakan yang tidak diindahkan.