Fusilatnews – Ketika Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba menyatakan pengunduran dirinya pada 7 September 2025, dunia kembali diingatkan pada satu tradisi yang jarang kita temui di tanah air: pemimpin yang rela mundur sebagai bentuk tanggung jawab moral. Kekalahan partai yang dipimpinnya, Partai Demokrat Liberal (LDP), dalam pemilu Juli lalu menjadi titik balik yang tidak bisa dihindari. Alih-alih bertahan dengan seribu alasan, Ishiba memilih menanggalkan jabatannya.
Keputusan ini bukan sekadar manuver politik. Ia adalah cermin budaya politik Jepang yang menempatkan rasa malu dan tanggung jawab publik di atas ambisi pribadi. Dalam logika politik Indonesia, pengunduran diri seperti ini terasa asing. Kita terbiasa melihat pemimpin bersikukuh pada kursi kekuasaan meski rakyat menderita, janji-janji gagal ditunaikan, atau bahkan ketika negara terjerat skandal besar.
Politik Tanggung Jawab vs Politik Kekuasaan
Apa yang ditunjukkan Ishiba adalah politik tanggung jawab, sebuah kesadaran bahwa jabatan bukanlah hak milik, melainkan amanah. Jika amanah itu gagal dijalankan, jalan terhormat adalah melepaskannya. Di Indonesia, logika ini sering dibalik: kekuasaan dianggap sebagai hadiah yang harus dipertahankan, bahkan dengan cara-cara yang manipulatif, penuh intrik, dan kadang bertentangan dengan nurani rakyat.
Lihatlah bagaimana banyak pejabat di negeri ini tetap bergeming meskipun publik sudah kehilangan kepercayaan. Mereka lebih memilih membangun narasi pencitraan ketimbang melakukan refleksi jujur. Budaya malu yang semestinya menjaga moral pemimpin seakan hilang ditelan kerakusan politik.
Kontras yang Menyakitkan
Jepang memberi kita contoh bahwa demokrasi bukan hanya soal prosedur pemilu, melainkan juga tentang etika kepemimpinan. Ishiba mengerti bahwa kekalahan partai adalah cermin kegagalan kepemimpinan, sehingga mundur adalah konsekuensi logis. Di Indonesia, kegagalan sering ditutupi dengan retorika, proyek mercusuar, atau justru menyalahkan pihak lain.
Kontras ini menyakitkan. Bagaimana mungkin bangsa sebesar Indonesia, dengan sejarah dan nilai-nilai luhur yang kaya, justru kesulitan melahirkan pemimpin yang berani mengambil tanggung jawab moral?
Pesan untuk Pemimpin Indonesia
Dari Jepang kita belajar bahwa keikhlasan melepaskan jabatan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan moral. Seorang pemimpin besar bukanlah yang paling lama berkuasa, tetapi yang paling berani berkata: “Saya gagal, dan saya siap mundur.”
Jika para pemimpin di negeri ini mau mencontoh moral Ishiba, mungkin rakyat akan lebih percaya pada politik. Demokrasi akan terasa lebih jujur, lebih manusiawi, dan lebih bermakna.