Fusilatnews – Selama hampir satu dekade menjabat sebagai Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) kerap mengaitkan berbagai permasalahan ekonomi domestik dengan faktor eksternal, khususnya dinamika ekonomi global. Ketika pertumbuhan ekonomi melambat, inflasi meningkat, atau daya beli masyarakat menurun, narasi yang dibangun pemerintah cenderung menitikberatkan pada pengaruh eksternal seperti perang dagang, pandemi COVID-19, hingga ketidakpastian ekonomi dunia.
Namun, kini, di era kepemimpinan Prabowo Subianto yang akan segera dimulai, Indonesia menghadapi kenyataan pahit berupa pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga 25 persen. Ironisnya, penyebab utama dari kondisi ini bukan lagi faktor eksternal semata, melainkan akumulasi kebijakan ekonomi era Jokowi yang kini menampakkan dampaknya secara nyata. Dengan kata lain, narasi yang selama ini dibangun mengenai pengaruh ekonomi global terhadap kondisi nasional seolah runtuh ketika melihat realitas bahwa sumber masalah lebih banyak berasal dari dalam negeri sendiri.
Warisan Krisis dari Era Jokowi
Salah satu faktor utama yang menyebabkan krisis fiskal saat ini adalah kebijakan agresif dalam pembangunan infrastruktur yang dilakukan Jokowi tanpa perhitungan keberlanjutan anggaran. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami peningkatan utang secara signifikan, dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang meningkat tajam. Proyek-proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan infrastruktur transportasi masif seperti jalan tol, LRT, dan kereta cepat menjadi beban fiskal yang kini harus ditanggung oleh pemerintahan Prabowo.
Selain itu, kebijakan subsidi yang tidak tepat sasaran, pembengkakan anggaran untuk program-program populis, serta lemahnya reformasi fiskal membuat ruang fiskal pemerintah semakin menyempit. Ketika tekanan ekonomi global benar-benar datang, Indonesia tidak memiliki cukup bantalan fiskal untuk meredam dampaknya.
Pemangkasan APBN: Dampak Nyata dari Kesalahan Lama
Pemangkasan APBN hingga 25 persen merupakan bukti nyata bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini jauh dari ideal. Pemerintahan Prabowo harus berhadapan dengan defisit anggaran yang membengkak, sehingga pemotongan belanja negara menjadi pilihan yang tak terhindarkan. Hal ini menandakan bahwa masalah ekonomi yang terjadi bukan hanya akibat faktor eksternal, tetapi juga merupakan konsekuensi dari tata kelola anggaran yang kurang disiplin selama era Jokowi.
Dalam konteks ini, Prabowo tidak bisa serta-merta mengalihkan kesalahan kepada faktor global sebagaimana yang dilakukan Jokowi. Publik kini semakin memahami bahwa kondisi fiskal yang buruk ini merupakan akibat dari kebijakan jangka panjang yang tidak memperhitungkan dampak jangka panjangnya. Pemangkasan APBN sebesar 25 persen juga menunjukkan bahwa ada banyak program yang selama ini dijalankan dengan pola pembiayaan yang kurang berkelanjutan dan kini harus dikoreksi.
Dinamika Politik dan Tantangan Prabowo
Secara politis, Prabowo berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi, ia merupakan bagian dari pemerintahan Jokowi dan ikut bertanggung jawab atas berbagai kebijakan di era tersebut, terutama dalam konteks pertahanan yang memiliki alokasi anggaran besar. Namun, di sisi lain, sebagai presiden baru, ia harus mampu membawa solusi konkret untuk mengatasi krisis ekonomi tanpa sekadar menyalahkan faktor eksternal atau mewarisi kebiasaan lama yang menghindari tanggung jawab.
Jika Prabowo tidak segera mengambil langkah reformasi ekonomi yang signifikan, Indonesia akan terus terjebak dalam siklus krisis fiskal yang semakin dalam. Keputusan untuk memangkas APBN bisa menjadi titik awal bagi pemerintahannya untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap efektivitas belanja negara. Namun, jika pemangkasan ini tidak diikuti oleh reformasi struktural dalam pengelolaan ekonomi dan fiskal, maka kebijakan ini hanya akan memperlambat dampak krisis tanpa benar-benar menyelesaikannya.
Kesimpulan
Dalih yang selama ini digunakan Jokowi untuk menutupi kelemahan pengelolaan ekonomi dalam negeri kini terbantahkan dengan realitas krisis fiskal yang harus dihadapi Prabowo. Faktor eksternal memang memiliki peran dalam dinamika ekonomi nasional, tetapi kebijakan fiskal yang kurang disiplin, pengelolaan anggaran yang tidak efektif, dan akumulasi utang yang terus meningkat adalah faktor utama yang menyebabkan kondisi saat ini. Pemangkasan APBN sebesar 25 persen bukan hanya sebagai langkah darurat, tetapi juga sebagai pengingat bahwa fondasi ekonomi yang lemah pada akhirnya akan menunjukkan dampaknya. Kini, tantangan bagi Prabowo adalah bagaimana mengatasi warisan krisis ini tanpa mengulangi kesalahan yang sama.