Pembangunan sumber daya manusia (SDM) adalah fondasi penting bagi kemajuan bangsa. Di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) merupakan dua organisasi masyarakat yang memiliki peran signifikan dalam bidang ini. Namun, pendekatan dan fokus kedua organisasi ini tampaknya mulai berbeda, dengan Muhammadiyah yang konsisten dalam sektor pendidikan, sementara NU mulai mengalihkan perhatiannya ke bidang bisnis.
Peran Muhammadiyah dalam Pendidikan
Muhammadiyah telah lama dikenal sebagai pilar utama dalam dunia pendidikan Indonesia. Dengan mengelola 171 institusi pendidikan tinggi, termasuk Universitas Muhammadiyah Malaysia (UMAM) dan Muhammadiyah Australia College (MAC) di Victoria, Australia, Muhammadiyah menunjukkan komitmen luar biasa dalam membangun SDM berkualitas. Institusi-institusi ini mencakup 18 akademi, 4 politeknik, 5 institut, 99 sekolah tinggi, dan 48 universitas.
Di tingkat pendidikan yang lebih rendah, Muhammadiyah mengelola 8.676 sekolah mulai dari PAUD hingga SMA. Kontribusi besar ini menunjukkan dedikasi Muhammadiyah dalam menciptakan generasi yang berpendidikan dan berdaya saing tinggi. Ustadz Felix Siauw bahkan menyarankan agar urusan pendidikan diserahkan kepada Muhammadiyah, mengingat keberhasilan mereka dalam mengelola ribuan sekolah dan universitas.
NU dan Pergeseran ke Bisnis
Di sisi lain, NU tampaknya mulai mengarahkan fokusnya ke sektor bisnis. Baru-baru ini, PBNU mendirikan perusahaan tambang batubara setelah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Khusus. Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, menjelaskan bahwa langkah ini diambil untuk memanfaatkan sumber daya manusia yang mereka miliki, dengan menunjuk Gudfan Arif, seorang pengusaha tambang berpengalaman, sebagai penanggung jawab utama.
Presiden Joko Widodo pada pekan lalu menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) 25/2024 yang mengizinkan organisasi masyarakat keagamaan seperti NU untuk mengelola wilayah izin khusus (WIUPK). Langkah ini segera ditindaklanjuti oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, dengan menerbitkan izin usaha pertambangan untuk PBNU.
Konsekuensi dan Pertanyaan
Perbedaan fokus antara Muhammadiyah dan NU ini menimbulkan beberapa pertanyaan penting. Mengapa NU memilih untuk beralih ke sektor bisnis, sementara Muhammadiyah tetap konsisten dalam pendidikan? Apakah ini menunjukkan pergeseran prioritas dalam membangun SDM di Indonesia?
Pendekatan NU ini mungkin didorong oleh upaya untuk meningkatkan kemandirian finansial organisasi. Namun, langkah ini juga membawa risiko, terutama jika fokus pada bisnis mengalihkan perhatian dari misi utama mereka dalam pendidikan dan sosial keagamaan.
Analisis dan Refleksi
Melihat kontribusi besar Muhammadiyah dalam pendidikan, kita dapat belajar bahwa pembangunan SDM yang berkelanjutan memerlukan dedikasi yang konsisten dan fokus pada peningkatan kualitas pendidikan. Pemerintah sendiri mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20% dari APBN atau sekitar 650 triliun rupiah, namun hanya 120 triliun yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, dengan Ditjen Pendidikan Tinggi mengelola 34 triliun rupiah. Sisanya disalurkan ke lembaga dan kementerian lain yang terkait dengan pendidikan.
Rendahnya daya saing Indonesia di dunia pendidikan, tercermin dari skor PISA 2023 yang menempatkan Indonesia di peringkat 68 dari 81 negara, menunjukkan bahwa anggaran pendidikan perlu dikelola lebih efektif dan efisien. Peningkatan kualitas pendidikan juga berkaitan erat dengan gizi anak usia dini, di mana Indonesia masih menghadapi masalah besar dengan tingginya angka stunting pada bayi baru lahir.
Kesimpulan
Untuk meningkatkan kualitas SDM, Indonesia perlu belajar dari pendekatan Muhammadiyah dalam pendidikan dan mengevaluasi pergeseran fokus NU ke sektor bisnis. Kolaborasi antara pemerintah dan organisasi masyarakat dalam bidang pendidikan perlu diperkuat, dengan anggaran pendidikan yang lebih terfokus dan terkelola dengan baik. Dengan demikian, kita dapat berharap generasi mendatang tumbuh menjadi SDM yang kompeten dan berdaya saing tinggi di kancah global.