Harga kedelai terus merangkak naik karena permintaan global yang juga tinggi. Salah satunya dipicu oleh aksi borong China terhadap kedelai impor dari negara-negara pemasok utama seperti AS.
“Masalah kedelai ini masalah internasional. Pada 2021, kita mengimpor 2,5 juta ton kedelai, sementara produksi dalam negeri tidak lebih dari 300 ribu ton. Jadi kita bergantung pada masalah internasinal,” kata Menteri Perdagangan Muhamad Lutfi saat bersama Menteri BUMN Erick Thohir dan Bupati Purworejo meresmikan Pasar Purworejo, Selasa (22/2).
Ia bilang kejadian tingginya harga kedelai karena harga supercycle tinggi, seperti pupuk urea naik tinggi. Lutfi bilang China membeli 60% pasokan kacang kedelai dunia. Ia bilang China membeli lebih dari 100 juta ton hasil kedelai dunia untuk kebutuhan dalam negerinya.
“Jadi kalau China naik, harganya juga naik. Kemudian Ketegangan Rusia dan Ukraina, menyebabkan tepung terigu harganya naik, bersamaan dengan kedelai. Tetapi kalau dilihat harga hari ini 15,86 dolar per bushel, Mei 2021 lebih tinggi lagi dan kita bisa mengatasinya. Saya menjembatani antara importir, perajin dan pedagang di pasar dan akan menetapkan harga wajar tahu dan tempe berapa,” katanya.
Lutfi bilang bila sampai harga kedelai naik ke 18 dolar per bushel, pemerintah akan mengeluarkan mekanisme kebijakan yang tidak memberatkan masyarakat.
Harga Masih Bakal ‘Terbang’
Pelaku usaha meyakini harga kedelai masih akan terus mengalami kenaikan dalam beberapa waktu mendatang. “Masih akan naik, belum sampai peak-nya,” kata Direktur Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo) Hidayat kepada CNBC Indonesia, Selasa (22/2/22).
Merujuk pada situs tradingeconomics, harga kedelai berfluktuasi di rentang US$ 15 per bushel (sekitar 27,21 kg) setelah sempat menyentuh level tertinggi sejak Mei 2021 di kisaran US$ 16 per bushel.
Akibatnya pengrajin tahu dan tempe harus menebus kedelai dengan harga lebih mahal. Di waktu normal berada di harga Rp 6.000-7.000/Kg, kini mencapai lebih dari Rp 11.000/Kg.
Kenaikan harga tersebut disebabkan oleh tingginya permintaan dari China. Hidayat menjelaskan bahwa negeri pimpinan Xi-Jin Ping itu memesan hingga 100 juta ton kedelai per tahun demi memenuhi kebutuhannya, baik untuk konsumsi masyarakat hingga yang terbesar pakan ternak babi. Jumlahnya sangat jauh dengan impor kedelai RI.
“Indonesia hanya 3 juta ton per tahun. Pada tahun 2020, 88% suplai atau 2,3 juta ton dari Amerika Serikat, kemudian Kanada 352 ribu ton, sedangkan negara Amerika Latin lainnya hanya sedikit,” jelas Hidayat.
Naik dan turunnya harga sangat bergantung dari negara-negara tersebut. Jika Amerika Serikat bisa menyuplai kedelai konsumsi, maka Amerika Latin seperti Brazil dan Argrntina lebih dikenal dengan produk bungkil kedelai, yakni diperuntukkan untuk pakan ternak.
“Amerika Serikat baru memasuki masa tanam di bulan Mei nanti, kalau hasilnya bagus harapannya produksi akan bagus. Kalau terganggu, produksi akan berkurang,” ujar Hidayat.