Dalam panggung politik dan hukum Indonesia yang sering kabur batasnya, tak jarang kebenaran justru menjadi barang dagangan. Di tengah suasana seperti itu, hadir pengacara-pengacara pejuang dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) yang kini sedang diperiksa: DHL, Kurnia, dan Rustam. Namun satu hal harus ditegaskan—mereka bukanlah “intelijen hitam” yang menyusup di tengah perjuangan demi menyabotase dari dalam.
Labelisasi, fitnah, dan tudingan murahan kerap dialamatkan kepada siapa pun yang berani berdiri di garis depan pembelaan terhadap mereka yang dizalimi oleh sistem. Ketiganya kini berada dalam pusaran tuduhan dan penghakiman opini publik, bahkan sebelum persidangan mengurai fakta. Namun, publik harus hati-hati membedakan antara para pejuang sejati dan mereka yang cuma “manggung” dengan wajah tebal tanpa urat malu di depan persidangan, sekadar memenuhi misi pesanan pihak-pihak tertentu.
Mereka yang benar-benar membela rakyat, membela ulama, membela para aktivis yang ditindas karena suara kritisnya, tak bisa disamakan dengan aktor-aktor panggung yang hanya cari muka di ruang pengadilan. Para pengacara TPUA telah menempuh jalan yang tidak mudah. Mereka bukan sekadar mengutip pasal dan membeo hukum prosedural. Mereka menghidupkan kembali semangat keadilan substantif. Namun apa balasannya? Justru mereka diseret, diperiksa, bahkan ingin dipenjara!
Siapa yang diuntungkan dari kriminalisasi para pembela hukum ini? Siapa yang gerah melihat kebenaran dibela? Yang pasti, bukan rakyat. Yang pasti pula, bukan hukum. Karena hukum sejatinya berdiri untuk mereka yang lemah dan terpinggirkan, bukan untuk melayani pesanan politik.
Ketika para pengacara itu dipaksa duduk di kursi terperiksa, dan wajah-wajah tanpa malu tampil di ruang sidang seolah jadi pahlawan moral, kita seakan menyaksikan sandiwara murahan. Tapi jangan salah: di balik sandiwara itu ada skenario besar, ada tangan-tangan hitam yang ingin membungkam suara kritis dan memenjarakan mereka yang tak tunduk pada kekuasaan gelap.
Di titik ini, masyarakat harus sadar bahwa yang dibidik bukan hanya tiga nama itu—DHL, Kurnia, Rustam. Yang sedang diadili bukan sekadar orang, tapi semangat perlawanan. Yang ingin dibungkam bukan hanya suara pengacara, tapi gema perjuangan rakyat yang menuntut keadilan sejati.
Pengacara para pejuang TPUA adalah simbol bahwa dalam sistem yang carut-marut, masih ada mereka yang berani berdiri tegak. Mereka bukan intelijen hitam. Mereka bukan badut pesanan. Mereka adalah benteng terakhir dari nurani hukum yang mulai dikooptasi kepentingan.
Dan sejarah akan mencatat, siapa yang berdiri di sisi yang benar, dan siapa yang cuma manggung dengan muka tebal, menari di atas penderitaan rakyat.