Oleh: Entang Sastreatmadja – Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat
CNBC Indonesia sempat melaporkan pernyataan Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI, Budisatrio Djiwandono, yang mengapresiasi keberhasilan pemerintah dalam panen raya tahun 2025. Momentum ini menjadi titik cerah, di mana produksi beras nasional diproyeksikan menembus 18,76 juta ton pada semester I 2025—angka tertinggi dalam tujuh tahun terakhir.
Tak hanya itu, cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog juga mencapai tonggak sejarah: lebih dari 3,5 juta ton—tertinggi dalam 57 tahun terakhir. Jumlah ini bahkan memaksa Bulog mendirikan 25 ribu gudang tambahan untuk menampung limpahan hasil panen petani lokal.
Capaian ini memunculkan harapan besar: Indonesia tak perlu lagi mengimpor beras. Sebuah visi yang selaras dengan komitmen Presiden Prabowo, yang secara politik menyatakan akan menghentikan impor beras mulai 2025. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Zulkifli Hasan pun menyuarakan hal serupa, menyampaikan bahwa pemerintah siap mengakhiri ketergantungan pada beras impor.
Namun, perlu diakui secara jujur: kebijakan impor beras selama ini kerap mengundang perdebatan. Banyak kalangan menilai bahwa impor bukanlah keniscayaan, melainkan akibat dari lemahnya tata kelola perberasan nasional. Ketika produksi goyah, dan distribusi tak tertata, pintu impor pun terbuka.
Sebagai catatan, Indonesia terakhir kali mengimpor beras pada tahun 2024, sebanyak 4,52 juta ton—naik dari 3,06 juta ton pada 2023. Impor tersebut dilakukan untuk menstabilkan harga dan pasokan di tengah fluktuasi produksi akibat perubahan iklim dan gangguan lainnya. Dari total impor, 88% berupa beras giling utuh dan sisanya broken rice. Thailand menjadi negara pemasok terbesar, yakni 1,36 juta ton atau 30% dari total impor.
Kini, dengan data produksi yang menunjukkan tren peningkatan, langkah pemerintah untuk menghentikan impor bukan keputusan sembrono, melainkan hasil dari kalkulasi yang matang. Pemerintah tentu tidak ingin membuat keputusan politis yang kemudian berujung pada ketergantungan baru.
Kuncinya adalah kepercayaan pada data. Survei Kerangka Sampel Area (KSA) Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 memperkirakan luas panen padi periode Januari-Juni 2025 mencapai 6,22 juta hektare—naik 11,90% dibanding tahun lalu. Sementara itu, produksi gabah kering giling (GKG) diperkirakan menyentuh 32,57 juta ton, meningkat 11,17% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Jika dikonversi menjadi beras, angka ini berarti sekitar 18,76 juta ton—naik hampir 2 juta ton dari tahun lalu. Provinsi dengan kontribusi tertinggi adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sebaliknya, produksi terendah tercatat di Papua Pegunungan, Kepulauan Riau, dan DKI Jakarta.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Mereka mencerminkan keberhasilan strategi pertanian nasional dan kerja keras para petani. Jerih payah Kementerian Pertanian akhirnya membuahkan hasil nyata. Ini bukan sekadar slogan atau janji, melainkan bukti konkret bahwa produktivitas bisa ditingkatkan dengan kerja sistematis.
Namun, keberhasilan produksi hanyalah awal. Tantangan berikutnya, dan tak kalah penting, adalah menjaga kelangsungan stok. Beras harus tetap tersedia, tersimpan dengan baik, dan siap disalurkan sesuai kebutuhan. Jangan sampai kelengahan dan manajemen distribusi yang buruk menggerus pencapaian yang telah susah payah diraih.
Momentum ini harus dimaknai sebagai pijakan menuju kemandirian dan kedaulatan pangan. Pertanyaannya kini bukan lagi “bisa atau tidak menyetop impor beras”, melainkan: apakah kita mampu menjaga momentum ini secara konsisten dan berkelanjutan?
Jika jawabannya ya, maka kita telah melangkah lebih dekat menuju cita-cita besar: menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang mampu berdiri di atas kaki sendiri dalam urusan pangan. Dan jika jawabannya tidak, maka kita akan kembali terjebak dalam lingkaran lama—produksi naik, stok membesar, lalu lengah dan kembali impor.
Inilah saatnya. Jaga lumbung, jaga harapan. Jangan sampai panen raya berubah jadi kemegahan sesaat tanpa arah.