PENGADILAN POLITIK MUNARMAN DAN KEPERCAYAAN PUBLIK
Seperti dikatakan dalam lampiran di bawah ini (shorturl.at/koF35)
Munarman telah disidangkan dengan tuduhan yang mengada-ada: tindakan terorisme.
Mengada-ada? Ya, sebab tidak ada disebutkan dalam dakwaan itu tindakan teror yang mana dan di mana dilakukan oleh Munarman. Seperti halnya kasus Syahganda, Jumhur dan Anton Permana, pengadilan nanti akan disuguhi interpretasi jaksa atas circumstances (situasi umum) bukan pembuktian secara langsung (material). Dalam pengadilan normal hal semacam itu sangat tidak memadai. Namun toh jaksa telah mengajukan permohonan sidang, tentu dengan keyakinan bahwa ia akan menang.
Bagaimana respon publik bila demikian?
Menurut hemat saya, publik akan cenderung mengabaikan (proses) pengadilan. Publik telah dikuasai persepsi awal bahwa pengadilan Munarman adalah pengadilan politik seperti terjadi kepada Habib Rizik Shihab. Persepsi awal itu menyebabkan publik tidak akan terlalu memperhatikan proses pengadilan. Penilaian publik akan terpusat kepada hasil akhir saja. Kalau hakim menyetujui dakwaan itu maka publik akan mengafirmasi persepsi awal mereka: hakim bersekongkol. Pengadilan, sekali lagi, bermain dengan kotoran politik.
Pengadilan kita telah sekian lama bergelimang dengan kotoran politik. Situasi itu menyebabkan pengadilan kita semakin ternoda, dan berdampak kepada merosotnya kepercayaan rakyat.
Tetapi pejabat mana yang peduli dengan kepercayaan rakyat sekarang? Mereka yang terpilih dengan cara membeli suara dan mencurangi penghitungan suara tidak akan peduli. Mereka yakin terpilih lagi dengan cara yang sama. Mereka juga meremehkan kepercayaan publik sebagai sekadar persepsi yang gampang diubah melalui survei dan klaim keberhasilan palsu.
Padahal dalam tradisi demokrasi, kepercayaan publik adalah ukuran dan tujuan yang paling esensial dari politik. Karena kekuasaan berasal dari rakyat maka tidak ada tujuan lain bagi politikus kecuali memperoleh kepercayaan rakyat. Suatu sistem, yang mengatakan dirinya demokrasi, namun tidak peduli kepada kepercayaan rakyat merupakan bukti yang nyata adanya kesalahan besar pada sistem politik itu.
Kesalahan apa? Menurut saya salah satu kesalahan sistem berakar dari cara bagaimana pemimpin itu dipilih. Untuk menjadikan pemimpin peduli kepada kepercayaan rakyat seorang calon pemimpin harus tahu beratnya memperoleh kepercayaan itu. Maka sejak awal memasuki dunia politik seorang kader politik wajib bergumul dengan rakyat, secara intelektual maupun praktikal. Hanya kader politik yang telah matang dalam pergumulannya, tahu apa yang harus ia lakukan untuk memperbaiki kehidupan rakyat, diusung untuk menjadi calon pemimpin di lembaga eksekutif maupun legislatif.
Proses di atas tidak terjadi karena sistem politik mengidap kesalahan yang fatal.
Pertama, sistem politik kita (diantaranya adalah sistem pemilu) menganut presidential threshold (batas ambang pencalonan seorang presiden). Threshold ini membatasi peluang orang-orang terbaik untuk mengikuti pilpres. Aturan itu menyebabkan dari 10 partai di DPR, hanya tersedia 3-4 capres tersedia untuk publik. Undang-undang memang memungkinkan munculnya capres independen tetapi syaratnya begitu berat sehingga praktis tidak ada orang yang sanggup memenuhinya. Secara praktis syarat PT itu hanya mungkin diraih oleh calon dengan modal finansial yang besar. Ia akan membeli dukungan dari partai-partai dan menyisakan secukupnya dukungan untuk capres kedua. Pemilu cara begini menciptakan kondisi yang sempurna bagi lahirnya presiden boneka yang dikendalikan oleh oligarki. Oligarki bukan demokrasi sebab tidak bekerja untuk kepentingan rakyat, oligarki bekerja untuk kepentingan kelompoknya sendiri.
Alhasil aturan presidential threshold menyebabkan lahirnya pemerintahan oligarkis yang tidak peduli kepada kepercayaan rakyat.
Kesalahan fatal kedua adalah sistem kepartaian yang tidak demokratis. Partai politik sangat didominasi oleh ketua partai. Di hampir semua partai kita tidak lagi menjumpai kader-kader partai yang aktif melayani rakyat dan konstituen. Pendidikan kader partai sangat terbatas dan tidak pernah dilihat esensial bagi partai. Sebagian besar partai politik menurut hemat saya adalah partai kepompong. Sarangnya saja yang ada, isinya tidak.
Kader meninggalkan partai karena pemimpin partai terlalu dominan. Hal tersebut bisa dilihat dari 3 aspek yaitu pemilihan pengurus partai, pemilihan calon eksekutif/legislatif dan penetapan kebijakan partai. Di dalam ketiga aspek itu peran kader dan anggota partai hampir tidak ada. Tidak heran bila kader dan anggota partai meninggalkan partai politik.
Struktur partai yang tidak demokratis yang ditinggalkan oleh kader dan anggota partainya, mau tidak mau, harus bersandar kepada kekuatan uang. Dengan sendirinya pemimpin-pemimpin eksekutif dan legislatif lebih terikat kepada kepentingan uang (oligarki) ketimbang rakyat.
Kesalahan fatal ketiga, masyarakat sipil kita terlalu fokus kepada urusannya sendiri. Mereka gagal melihat ‘hutan ketimbang pohonnya’. Mereka harus melihat politik secara keseluruhan, ketimbang melihat aspek tanah, HAM, lingkungan, dsb. Karena politik anti-demokrasi, seperti oligarki, tidak mungkin bersahabat dengan agenda masyarakat sipil. Memang tentacles oligarki tidak secara langsung membelit mereka. Mereka baru sadar ketika tentacles itu mulai mencekik leher. Kesadaran yang mungkin terlambat, karena aktivis2 HAM sudah mulai diadili.
Rejim oligarki ini hanya bisa tegak dengan kekuatan paksa. Selama ini mereka bisa menggunakan kekuatan paksa itu sekehendak mereka karena berhasil menyebarkan isu Indonesia darurat radikalisme. Salah satu pembenar dari isu tersebut adalah adanya terorisme. Keberadaan Munarman adalah pembenar adanya terorisme itu. Vonis keterlibatan Munarman dengan terorisme sangat penting untuk tegaknya rejim oligarki. Dengan kata lain, Munarman adalah kambing hitam persembahan oligarki untuk iblis sembahan mereka.
Keseluruhan argumen dalam artikel pendek ini sesungguhnya ingin mengatakan agar kita setia kepada demokrasi. Karena itulah jalan keadilan. Adil adalah ketika politik mengalirkan energi yang menambah kepercayaan rakyat. Kepemimpinan yang adil dan kepercayaan rakyat akan membangun siklus keabadian, siklus dewa. Sebaliknya pemimpin yang suka berbohong dan tidak adil akan memerosotkan kepercayaan publik, melahirkan siklus iblis yang merapuhkan sendi-sendi kehidupan bernegara.
Saya merasakan siklus iblis itu semakin menjerat…