Eskalasi tensi geopolitik antara Rusia dan Ukraina akhirnya berujung pada operasi militer. Rusia resmi menginvasi Ukraina pada hari ini, Kamis (24/2).
“Saya telah membuat keputusan operasi militer,” kata Putin dalam pernyataan mengejutkan di televisi sesaat sebelum pukul 06.00 pagi waktu setempat.
Putin mengumumkan operasi militer tersebut demi membela separatis di wilayah timur Ukraina, yakni Donetsk dan Luhansk. Di awal pekan ini, Putin sudah mengakui kemerdekaan kedua wilayah tersebut, dan menempatkan pasukannya di sana untuk “menjaga perdamaian”.
Akibat aksinya tersebut, Amerika Serikat (AS) dan Negara-Negara Barat memberikan sanksi ekonomi ke Negeri Beruang Merah. Tetapi, Putin sepertinya tidak gentar, dan justru benar-benar melakukan invasi pada hari ini.
Pasca pengumuman tersebut, tentara Rusia membombardir Ukraina, ledakan dilaporkan terjadi berkali-kali di ibu kota Kyiv.
AS dan sekutu jauh-jauh hari sebenarnya sudah memperingatkan akan potensi invasi tersebut.
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, bahkan mengatakan Rusia sedang merencanakan perang dahsyat di Eropa.
“Bukti menunjukkan Rusia merencanakan perang di Eropa dan akan menjadi yang terbesar sejak 1945,” kata Johnson dalam wawancaranya dengan BBC, Minggu (20/2).
“Semua tanda menunjukkan rencana tersebut sudah dimulai. Intelijen menunjukkan Rusia akan menginvasi dan mengepung ibu kota Kyiv,” tambah Johnson.
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pun memutuskan untuk mengambil langkah lanjutan terkait serangan Rusia ke wilayah Ukraina. Pakta pimpinan Amerika Serikat itu akan mengadakan pertemuan darurat hari ini dan dipimpin langsung oleh Kepala NATO Jens Stoltenberg.
Mengutip AFP, rapat itu sendiri diharapkan akan menghasilkan keputusan mengenai tindakan lanjutan atas serangan Moskow ini. Meski begitu, belum ada gambaran pasti apakah langkah selanjutnya mungkin diambil, termasuk menerjunkan personil militer.
Putin pun memberikan pesan yang “menakutkan”.
“Saya punya beberapa kata untuk mereka yang merasa perlu ikut campur. Siapa pun yang mencoba menghalangi kami, apalagi menciptakan ancaman bagi negara dan rakyat kami harus tahu bahwa tanggapan Rusia akan segera dan mengarah pada konsekuensi yang tak pernah Anda hadapi dalam sejarah,” tegasnya sebagaimana dikutip ABC News.
Langkah invasi yang dilakukan Putin memberikan dampak yang besar di segala aspek, termasuk ke pasar finansial hingga ke perekonomian global.
Aset-aset berisiko “berguguran”, sementara aset aman (safe haven) dan komoditas “terbang” tinggi.
Bursa Saham Global dan Mata Uang Asia & Kripto “Gugur”
Begitu Rusia membombardir Ukraina, bursa saham Asia langsung jeblok. Bursa saham Eropa yang baru saja dibuka juga menyusul ke zona merah.
Indeks Nikkei Jepang dan Shanghai Composite jeblok masing-masing 1,8% dan 1,7%. Kemudian Kospi Korea Selatan merosot hingga 2,6%, Hang Seng Hong Kong bahkan nyungsep 3,2%.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga tak lepas dari tekanan, berakhir melemah 1,5% ke 6.912,477. Tetapi yang menarik, investor asing justru masih terus memborong saham di dalam negeri.
Investor asing hari ini tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) senilai Rp 821 miliar di pasar reguler. Ditambah pasar nego dan tunai totalnya menjadi Rp 881 miliar. Sebelumnya net buy juga tercatat sekitar Rp 2,3 triliun dalam 3 hari di pekan ini, dan dalam 2 minggu sebelumnya Rp 10 triliun.
Aliran modal yang masuk tersebut, begitu juga di pasar obligasi, membuat kinerja rupiah cukup bagus pada hari ini. Rupiah tercatat melemah 0,31% ke Rp 14.380/US$. Sementara mata uang utama Asia lainnya, kecuali yen Jepang yang menyandang status safe haven, jeblok.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:03 WIB.
Capital inflow di pasar obligasi terlihat dari data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, di mana sepanjang bulan ini hingga 18 Februari aliran modal asing masuk ke pasar obligasi cukup besar, hampir Rp 14,5 triliun.
Capital inflow tersebut sekaligus membalikkan outflow sekitar Rp 4 triliun yang terjadi pada bulan Januari lalu. Dengan demikian sepanjang tahun ini (year-to-date) hingga 18 Februari lalu terjadi inflow lebih dari Rp 10 triliun di pasar obligasi.
Fundamental perekonomian Indonesia yang semakin membaik bisa jadi membuat investor asing terus mengalirkan modalnya ke Indonesia. Tidak seperti negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) begitu juga negara-negara di Eropa, inflasi di Indonesia masih rendah.
Di bulan Januari, inflasi di Indonesia dilaporkan tumbuh 2,18% year-on-year (yoy), bandingkan dengan Amerika Serikat yang sebesar 7,5% (yoy).
Selain itu, ditopang kenaikan harga komoditas neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus 21 bulan beruntun, dan membantu transaksi berjalan Indonesia membukukan surplus sebesar US$ 1,4 miliar atau 0,4% dari produk domestik bruto (PDB) di kuartal IV-2021, lebih rendah dari kuartal sebelumnya US$ 5 miliar (1,7% dari PDB) di tiga bulan sebelumnya.
Sepanjang 2021, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 3,3 miliar (0,3% dari PDB). Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.
Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial bagi pergerakan rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.
Dengan surplus tersebut, stabilitas nilai tukar rupiah akan lebih terjaga yang bisa memberikan kenyamanan investor asing berinvestasi di dalam negeri. Kerugian akibat fluktuasi kurs bisa diminimalisir, begitu juga rendahnya inflasi.
Di tahun ini, transaksi berjalan memang diperkirakan akan kembali defisit, tetapi tidak akan sebesar sebelumnya.
Kemudian, pemerintah juga sudah menegaskan tidak akan lagi melakukan pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), sehingga roda perekonomian bisa berjalan lebih kencang.
Sementara itu aset kripto juga ikut terpuruk. Bitcoin yang digadang-gadang sebagai emas digital ternyata ambrol hingga 8%. Ether dan XRP juga ambrol lebih dari 9%. Litecoin bahkan jeblok hingga 12%.
Ini Komoditas yang ‘Terbang’ Tinggi
Minyak mentah menjadi komoditas yang langsung melesat begitu Rusia melakukan invasi. Maklum saja, Rusia merupakan salah satu eksportir minyak mentah dunia, perang yang dilakukan berisiko mengganggu supply. Belum lagi jika Negara Barat menjatuhkan sanksi.
Alhasil, minyak jenis Brent menembus level US$ 100/barel untuk pertama kalinya sejak tahun 2014. Meroketnya harga minyak mentah berisiko mendorong kenaikan inflasi.
Meroketnya harga minyak mentah turut mengerek naik komoditas energi lainnya, seperti gas alam yang naik nyaris 4% ke US$ 4,77/MMBtu di Henry Hub.
Untuk diketahui Rusia adalah produsen gas alam terbesar kedua di dunia dengan kontribusi mencapai 16,6% produksi gas alam pada tahun 2020.
Minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang bisa diolah menjadi biodiesel juga terbang ke rekor tertinggi sepanjang masa.
Harga CPO untuk kontrak April di Bursa Derivatif Malaysia meroket lebih dari 7% ke RM 6.723/ton yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.
Komoditas lain yang ikut melesat yakni nikel. Pasalnya, Rusia adalah produsen nikel terbesar nomor 3 di dunia dengan produksi 280.000 ton pada tahun 2020, mengacu data Statista. Sehingga pengaruhnya besar terhadap pergerakan harga nikel dunia.
Harga nikel sendiri meroket lebih dari 5% ke US$ 25.655,5/ton.
Aluminium juga ikut melompat. Dilansir dari AFP, Kamis (24/2/2022), harga aluminium lompat ke titik tertingginya di US$ 3.382,5 per ton. Ini melompati harga tertinggi di US$ 3.380,15 per ton pada Juli 2008 saat terjadi krisis keuangan dunia.
Tidak ketinggalan emas si aset safe haven yang melesat lebih dari 2% ke US$ 1.948/troy ons. Level tersebut merupakan yang tertinggi sejak 6 Januari 2021.
Emas bahkan masih bisa terus menanjak. Frank Holmes, CEO dari U.S. Global Investors mengatakan emas secara historis mencatat kinerja yang bagus saat terjadi gejolak geopolitik, dan bisa naik sekitar 50% dari level saat ini. Holmes memprediksi emas bisa mencapai US$ 3.000/troy ons.
“Saya merasa yakin emas akan dengan mudah mencapai US$ 2.500 – US$ 3.000/troy ons,” kata Holmes.
Sumber : CNBC