Dalam lanskap politik Indonesia yang seringkali terbungkus narasi santun dan penuh basa-basi, muncul seorang tokoh muda, Kaesang Pangarep, yang memecah kebisuan dengan cara yang amat demonstratif. Mengenakan t-shirt bertuliskan “Anak Mulyono” dan “Putra Finalis Pemimpin Dunia Versi OCCRP,” ia tidak hanya menantang tatanan normatif, tetapi juga menohok semiotika moralitas yang dihayati banyak pihak.
Kaesang, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum sebuah partai, bukanlah sekadar aktor politik, tetapi representasi simbolik dari sebuah sistem nilai. Namun, apa yang ditampilkan lewat pakaian tersebut, ibarat seorang penjudi yang bertepuk dada di meja kekalahan, atau pemabuk yang bersulang di tengah kemabukan dosa-dosanya. Dalam terminologi teologis, tindakan semacam ini adalah glorificatio peccati—kebanggaan atas dosa.
Fenomena ini mengundang pertanyaan: apakah tindakan tersebut pantas dalam konteks moralitas publik dan kapasitasnya sebagai figur politik? Ethos politikon, moralitas dalam politik, adalah landasan yang tak boleh digadaikan. Ketua partai, bagaimanapun, bukan sekadar individu dengan hak berekspresi, melainkan juga persona publica, wajah yang mewakili nilai, harapan, dan kredibilitas partai yang dipimpinnya.
Namun, di tengah kegaduhan ini, kontradiksi besar muncul. T-shirt tersebut seolah menjadi deklarasi ironi. Kata-kata seperti “Putra Finalis Pemimpin Dunia Versi OCCRP” bukan sekadar satire, tetapi sebuah pengakuan yang mengesampingkan gravitas atau keseriusan seorang pemimpin. Dalam norma budaya, tindakan ini menyentuh batas antara subversio (pembalikan) dan provocatio (provokasi) yang menentang kewajaran.
Mengapa ironi ini menjadi begitu penting untuk disorot? Dalam kacamata semiotika, pakaian bukan sekadar kain; ia adalah signifier yang membawa pesan. Pesan Kaesang, dalam konteks ini, memancarkan makna yang ambigu. Apakah ia sedang mengejek kritik yang ditujukan pada keluarganya, atau justru mempertegas realitas bahwa kritik tersebut tak lebih dari sekadar bahan candaan?
Namun, dalam dimensi moralitas yang lebih dalam, tindakan ini melanggar habitus et consuetudo (kebiasaan dan adat). Dalam masyarakat yang memandang pentingnya penghormatan terhadap etika publik, sikap Kaesang menjadi antitesis dari apa yang diharapkan dari seorang pemimpin.
Kaesang, dalam ironi sinisnya, mungkin merasa bahwa ini adalah bentuk ekspresi otentik—expressio sui. Namun, otentisitas tidak dapat dipertahankan tanpa tanggung jawab moral. Libertas sine conscientia (kebebasan tanpa kesadaran moral) adalah bentuk kebebasan yang merusak.
Jika dilihat dari kacamata agama, tindakan ini mendekati dystopia moral, sebuah lanskap nilai di mana dosa bukan lagi sesuatu yang disesali, tetapi dirayakan. Dalam dunia yang penuh kontradiksi, Kaesang mungkin ingin menjadi simbol pemberontakan terhadap kemapanan. Namun, dalam pemberontakan itu, ia justru berisiko menjadi refleksi dari nihilismus moralis—kekosongan moralitas.
Sebagai pemimpin, ada tanggung jawab untuk mencerminkan veritas (kebenaran) dan dignitas (martabat). Namun, dengan langkah ini, Kaesang seolah-olah lebih memilih jalan ludibrium—hiburan tanpa makna, yang mereduksi kepemimpinannya menjadi sekadar tontonan yang kehilangan arah.
Pada akhirnya, t-shirt itu bukan sekadar pakaian. Ia adalah simbol, sebuah perlawanan yang ambigu, yang di satu sisi terlihat jenaka, tetapi di sisi lain mengikis kepercayaan publik pada moralitas politik. Sebuah panggung untuk bertanya: Apakah kepemimpinan telah menjadi sekadar permainan simbol, atau masihkah ada ruang untuk makna di tengah ironi ini?