Pernyataan Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, dalam pidatonya yang menyerukan “menghalalkan segala cara” demi memenangkan kontestasi politik, menuai banyak kritik, termasuk dari budayawan Goenawan Mohamad. Ucapan tersebut tidak hanya mengejutkan publik, tetapi juga memunculkan refleksi yang lebih dalam tentang kondisi moralitas politik di Indonesia. Goenawan Mohamad, mantan redaktur majalah Tempo, mengkritik keras sikap Bahlil dengan menyebut Indonesia sebagai “tempat para bandit”, mengacu pada praktik-praktik politik kotor yang semakin menjadi-jadi.
Dalam sebuah cuplikan video yang diunggah ulang oleh Goenawan melalui akun X pribadinya pada Senin (7/10/2024), terlihat Bahlil sedang berpidato di acara konsolidasi Tim Pemenangan pasangan Ahmad Luthfi – Taj Yasin untuk Pilkada Jawa Tengah 2024, yang digelar di Sukoharjo pada Sabtu (5/10/2024). Dalam pidatonya, Bahlil menginstruksikan para kader Partai Golkar, termasuk Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), untuk memastikan kemenangan Luthfi-Yasin dalam Pilkada tersebut.
Bahlil, yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum HIPMI periode 2015-2019 sebelum menjadi Ketua Umum Golkar, dengan tegas mengatakan, “Harus menang ya… Hipmi terbaru gak pernah kalah, selalu menang.” Ucapannya ini disusul dengan pernyataan yang lebih kontroversial, “Kalau ada potensi kalah, caranya gimana menang? Rumus Hipmi gak boleh kalah. Cara apapun lakukan, yang penting menang.”
Pernyataan ini semakin mencengangkan ketika Bahlil menyarankan agar cara-cara yang dilakukan untuk menang tidak menabrak aturan, atau setidaknya, jika melanggar aturan, “yang penting jangan ketahuan.” Ucapan ini dengan jelas menunjukkan bahwa nilai etika dan hukum bisa diabaikan selama tujuannya tercapai, yang semakin mencerminkan pragmatisme politik yang tak berprinsip.
Goenawan Mohamad: Indonesia di Tangan Para Bandit
Respon Goenawan Mohamad terhadap pernyataan ini sangat tajam. Ia mengunggah kembali video pidato Bahlil dengan narasi yang menyentuh soal degradasi moral dalam politik Indonesia. Melalui kritiknya, Goenawan secara tidak langsung menggambarkan Bahlil dan politisi lain yang sejenis sebagai bagian dari “bandit politik” yang memanfaatkan kekuasaan demi ambisi pribadi, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran.
Istilah “bandit” dalam konteks ini tidak hanya merujuk pada pelaku kejahatan dalam arti konvensional, tetapi juga pada mereka yang menggunakan segala cara, termasuk cara-cara tidak etis dan melanggar hukum, untuk mencapai tujuannya. Para bandit politik ini, dalam pandangan Goenawan, adalah mereka yang merusak tatanan demokrasi dengan mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok di atas kepentingan bangsa dan rakyat.
Goenawan menggambarkan realitas pahit ini dengan lantang, menggambarkan bagaimana politik di Indonesia telah berubah menjadi panggung bagi mereka yang tidak segan-segan menghalalkan segala cara. Ketika para pemimpin yang seharusnya menjadi penjaga moral dan etika justru menjadi pelaku dari pelanggaran itu sendiri, demokrasi dan keadilan terancam kehilangan makna sejatinya.
Politik Tanpa Moral: Apa Dampaknya bagi Demokrasi?
Pernyataan Bahlil yang seolah mengesampingkan moralitas dalam berpolitik memunculkan pertanyaan mendasar: Bagaimana nasib demokrasi jika politisi yang seharusnya menjaga integritas justru merusak tatanan dengan mengutamakan kemenangan di atas segalanya? Politik bukan sekadar soal menang atau kalah; ini adalah soal bagaimana seorang pemimpin menjaga amanah, menjalankan prinsip-prinsip kejujuran, dan berjuang demi kepentingan rakyat.
Ketika para pemimpin politik merasa bahwa kemenangan harus diraih dengan cara apapun, mereka menciptakan preseden buruk yang merusak moralitas politik itu sendiri. Jika para politisi besar saja dapat mengabaikan aturan dan etika, maka bagaimana mungkin rakyat dapat mempercayai sistem politik yang seharusnya dibangun di atas fondasi keadilan dan kejujuran?
Goenawan Mohamad secara tepat menyingkap realitas ini: Indonesia, di bawah kepemimpinan yang tidak berintegritas, perlahan berubah menjadi tempat di mana bandit-bandit politik bebas berkeliaran, melakukan segala cara untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Jika politik terus dirusak oleh praktik-praktik seperti ini, maka rakyatlah yang pada akhirnya akan paling dirugikan—kesejahteraan yang diabaikan, hukum yang dilemahkan, dan kepercayaan publik yang terus-menerus terkikis.
Menuju Perbaikan: Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk mencegah degradasi lebih lanjut, langkah-langkah penting harus diambil. Pertama, masyarakat harus lebih kritis dalam menilai para pemimpin politik. Keputusan politik tidak boleh hanya didasarkan pada popularitas atau janji-janji manis selama kampanye, tetapi harus didasarkan pada rekam jejak dan integritas moral calon pemimpin.
Selain itu, peran lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus diperkuat. KPK dan lembaga-lembaga hukum lainnya harus berfungsi sebagai pengawas yang memastikan bahwa para politisi tidak menyalahgunakan kekuasaan mereka. Lebih dari itu, masyarakat sipil, media, dan tokoh-tokoh kritis seperti Goenawan Mohamad harus terus menjadi suara yang melawan segala bentuk penyelewengan kekuasaan.
Kesimpulan
Pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia yang menghalalkan segala cara demi kemenangan politik mencerminkan kerusakan integritas dalam dunia politik Indonesia. Kritik Goenawan Mohamad terhadap pernyataan ini dengan menyebut Indonesia sebagai “tempat para bandit” adalah refleksi tajam tentang bagaimana politik tanpa moralitas dapat menghancurkan tatanan demokrasi.
Sebagai rakyat, kita harus tetap waspada dan kritis terhadap para pemimpin yang kita pilih. Jika politik terus dibiarkan menjadi ajang perebutan kekuasaan tanpa memperhatikan etika dan hukum, maka cita-cita demokrasi yang adil dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia akan semakin jauh dari kenyataan.
Pernyataan Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, dalam pidatonya yang menyerukan “menghalalkan segala cara” demi memenangkan kontestasi politik, menuai banyak kritik, termasuk dari budayawan Goenawan Mohamad. Ucapan tersebut tidak hanya mengejutkan publik, tetapi juga memunculkan refleksi yang lebih dalam tentang kondisi moralitas politik di Indonesia. Goenawan Mohamad, mantan redaktur majalah Tempo, mengkritik keras sikap Bahlil dengan menyebut Indonesia sebagai “tempat para bandit”, mengacu pada praktik-praktik politik kotor yang semakin menjadi-jadi.
Dalam sebuah cuplikan video yang diunggah ulang oleh Goenawan melalui akun X pribadinya pada Senin (7/10/2024), terlihat Bahlil sedang berpidato di acara konsolidasi Tim Pemenangan pasangan Ahmad Luthfi – Taj Yasin untuk Pilkada Jawa Tengah 2024, yang digelar di Sukoharjo pada Sabtu (5/10/2024). Dalam pidatonya, Bahlil menginstruksikan para kader Partai Golkar, termasuk Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), untuk memastikan kemenangan Luthfi-Yasin dalam Pilkada tersebut.
Bahlil, yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum HIPMI periode 2015-2019 sebelum menjadi Ketua Umum Golkar, dengan tegas mengatakan, “Harus menang ya… Hipmi terbaru gak pernah kalah, selalu menang.” Ucapannya ini disusul dengan pernyataan yang lebih kontroversial, “Kalau ada potensi kalah, caranya gimana menang? Rumus Hipmi gak boleh kalah. Cara apapun lakukan, yang penting menang.”
Pernyataan ini semakin mencengangkan ketika Bahlil menyarankan agar cara-cara yang dilakukan untuk menang tidak menabrak aturan, atau setidaknya, jika melanggar aturan, “yang penting jangan ketahuan.” Ucapan ini dengan jelas menunjukkan bahwa nilai etika dan hukum bisa diabaikan selama tujuannya tercapai, yang semakin mencerminkan pragmatisme politik yang tak berprinsip.
Goenawan Mohamad: Indonesia di Tangan Para Bandit
Respon Goenawan Mohamad terhadap pernyataan ini sangat tajam. Ia mengunggah kembali video pidato Bahlil dengan narasi yang menyentuh soal degradasi moral dalam politik Indonesia. Melalui kritiknya, Goenawan secara tidak langsung menggambarkan Bahlil dan politisi lain yang sejenis sebagai bagian dari “bandit politik” yang memanfaatkan kekuasaan demi ambisi pribadi, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran.
Istilah “bandit” dalam konteks ini tidak hanya merujuk pada pelaku kejahatan dalam arti konvensional, tetapi juga pada mereka yang menggunakan segala cara, termasuk cara-cara tidak etis dan melanggar hukum, untuk mencapai tujuannya. Para bandit politik ini, dalam pandangan Goenawan, adalah mereka yang merusak tatanan demokrasi dengan mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok di atas kepentingan bangsa dan rakyat.
Goenawan menggambarkan realitas pahit ini dengan lantang, menggambarkan bagaimana politik di Indonesia telah berubah menjadi panggung bagi mereka yang tidak segan-segan menghalalkan segala cara. Ketika para pemimpin yang seharusnya menjadi penjaga moral dan etika justru menjadi pelaku dari pelanggaran itu sendiri, demokrasi dan keadilan terancam kehilangan makna sejatinya.
Politik Tanpa Moral: Apa Dampaknya bagi Demokrasi?
Pernyataan Bahlil yang seolah mengesampingkan moralitas dalam berpolitik memunculkan pertanyaan mendasar: Bagaimana nasib demokrasi jika politisi yang seharusnya menjaga integritas justru merusak tatanan dengan mengutamakan kemenangan di atas segalanya? Politik bukan sekadar soal menang atau kalah; ini adalah soal bagaimana seorang pemimpin menjaga amanah, menjalankan prinsip-prinsip kejujuran, dan berjuang demi kepentingan rakyat.
Ketika para pemimpin politik merasa bahwa kemenangan harus diraih dengan cara apapun, mereka menciptakan preseden buruk yang merusak moralitas politik itu sendiri. Jika para politisi besar saja dapat mengabaikan aturan dan etika, maka bagaimana mungkin rakyat dapat mempercayai sistem politik yang seharusnya dibangun di atas fondasi keadilan dan kejujuran?
Goenawan Mohamad secara tepat menyingkap realitas ini: Indonesia, di bawah kepemimpinan yang tidak berintegritas, perlahan berubah menjadi tempat di mana bandit-bandit politik bebas berkeliaran, melakukan segala cara untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Jika politik terus dirusak oleh praktik-praktik seperti ini, maka rakyatlah yang pada akhirnya akan paling dirugikan—kesejahteraan yang diabaikan, hukum yang dilemahkan, dan kepercayaan publik yang terus-menerus terkikis.
Menuju Perbaikan: Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk mencegah degradasi lebih lanjut, langkah-langkah penting harus diambil. Pertama, masyarakat harus lebih kritis dalam menilai para pemimpin politik. Keputusan politik tidak boleh hanya didasarkan pada popularitas atau janji-janji manis selama kampanye, tetapi harus didasarkan pada rekam jejak dan integritas moral calon pemimpin.
Selain itu, peran lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus diperkuat. KPK dan lembaga-lembaga hukum lainnya harus berfungsi sebagai pengawas yang memastikan bahwa para politisi tidak menyalahgunakan kekuasaan mereka. Lebih dari itu, masyarakat sipil, media, dan tokoh-tokoh kritis seperti Goenawan Mohamad harus terus menjadi suara yang melawan segala bentuk penyelewengan kekuasaan.
Kesimpulan
Pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia yang menghalalkan segala cara demi kemenangan politik mencerminkan kerusakan integritas dalam dunia politik Indonesia. Kritik Goenawan Mohamad terhadap pernyataan ini dengan menyebut Indonesia sebagai “tempat para bandit” adalah refleksi tajam tentang bagaimana politik tanpa moralitas dapat menghancurkan tatanan demokrasi.
Sebagai rakyat, kita harus tetap waspada dan kritis terhadap para pemimpin yang kita pilih. Jika politik terus dibiarkan menjadi ajang perebutan kekuasaan tanpa memperhatikan etika dan hukum, maka cita-cita demokrasi yang adil dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia akan semakin jauh dari kenyataan.