Dalam terang-terangan, kebijakan terbaru memberikan ruang bagi organisasi agama untuk terlibat dalam industri pertambangan menarik perhatian Ormas NU (Bukan Kakap Nunut Umara). Dengan umpan izin tambang, Ormas tersebut langsung bersiap-siap memanen keuntungan besar, seolah-olah menantikan hidangan ikan bakar rica-rica ala Manado atau khas Makassar.
Gus Yahya, sosok kunci di balik PBNU, dengan bangganya mengumumkan bahwa bendahara umum mereka, Gudfan Arif, telah memiliki pengalaman dalam bisnis pertambangan. Seolah menganggap pertambangan sebagai semacam pesta makan-makan, Yahya bahkan menyatakan bahwa Gudfan memiliki jaringan bisnis dalam komunitas pertambangan yang akan mendukung upaya eksploitasi tambang.
Namun, jauh dari keriuhan konferensi pers, publik pun menyoroti langkah serupa dengan skeptis. Di balik janji kekayaan yang dijanjikan, masyarakat mulai mempertanyakan apakah kebijakan ini akan memberikan manfaat yang sebenarnya bagi mereka atau hanya akan menguntungkan sebagian kecil pihak. Apakah ikan bakar rica-rica ini benar-benar akan tersedia untuk semua, ataukah hanya akan dinikmati oleh para pemangku kepentingan yang memiliki akses dan pengaruh?
Meski terkesan sebagai gerakan bisnis yang konon akan memberi manfaat besar bagi masyarakat NU, banyak yang melihatnya sebagai alat politik yang cerdik. Di tengah wacana tentang desain keuangan dan kooperasi, muncul keraguan akan transparansi dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam yang semestinya menjadi hak bersama.
Seiring pemerintah mengeluarkan izin tambang untuk organisasi agama, pertanyaan tentang integritas dan tujuan sejati di balik kebijakan ini semakin mengemuka. Apakah ini benar-benar demi kesejahteraan rakyat, ataukah hanya sebagai alat kepentingan tertentu? Hanya waktu yang akan menjawab, apakah umpan yang menarik ini akan menghasilkan hidangan yang benar-benar menyenangkan bagi semua, ataukah hanya akan menjadi pesta bagi sebagian kecil?