Jakarta-Fusilatnews.–Kementerian Keuangan telah menyiapkan sejumlah program dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendukung bantuan langsung tunai (BLT) yang baru diumumkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Bantuan sosial BLT senilai Rp 11,25 triliun ini dirancang untuk memberikan Rp 200.000 per keluarga setiap bulan selama Januari, Februari, dan Maret, dengan total Rp 600.000 yang disalurkan dalam satu pembayaran pada bulan Februari.
Sebanyak 18,8 juta keluarga diperkirakan akan menerima manfaat dari skema ini. Waktu distribusi bantuan sosial yang signifikan ini, tepat sebelum pemilihan umum, menunjukkan kasus yang jelas dipolitisasi.
Dalam lanskap politik yang kompleks, hubungan antara kesejahteraan sosial dan integritas politik menjadi sangat penting, membentuk masyarakat yang dapat memperkuat martabat warganya atau mengorbankan prinsip-prinsip utama nilai-nilai demokrasi.
Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar menghadapi pergeseran politik menjelang Pemilu 2024. Tantangan ini terutama terkait dengan politisasi program bantuan sosial (bansos), tren yang semakin jelas di bawah pemerintahan Jokowi.
Bansos, yang seharusnya menjadi bantuan langsung dari negara kepada masyarakat ekonomi rentan, telah menjadi bagian integral dari struktur sosial-ekonomi Indonesia. Namun, integritas bansos terancam oleh penggunaannya yang terang-terangan sebagai alat politik, terutama terlihat menjelang pemilihan umum 2024.
Pendekatan Presiden Jokowi terhadap bantuan sosial memunculkan pertanyaan tentang keberpihakannya terhadap kepentingan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, terutama karena Gibran adalah putra Jokowi. Pernyataan dan perkembangan terbaru semakin menunjukkan dukungan tidak langsung dari Jokowi untuk pasangan ini.
Situasi ini memunculkan kekhawatiran etis, menandakan penyimpangan dari prinsip-prinsip demokrasi. Seharusnya, kesejahteraan rakyat menjadi yang utama. Namun, ada pergeseran ke arah penggunaan inisiatif ini sebagai alat strategis dalam lanskap politik, memengaruhi persepsi publik dan pengambilan keputusan selama siklus pemilihan.
Politisasi ini bukan hanya melanggar prinsip-prinsip demokrasi, melainkan juga menghina martabat rakyat Indonesia. Saat program kesejahteraan digunakan untuk keuntungan elektoral, pemerintah berubah dari peran netral sebagai penyedia barang publik menjadi pemain partisan.