Jakarta, Fusilatnews.com, – Kuasa hukum anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Bustami Zainuddin dan Fachrul Razi, Refly Harun, menyebut ada potensi calon presiden tunggal di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 jika ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) di Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yakni 20 persen tetap dipertahankan. Refly mengatakan pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini menguasai 82 persen kursi di DPR. Dia khawatir hal tersebut terulang di Pilpres 2024 gara-gara presidential threshold.
“Berdasarkan ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017, ada kemungkinan bisa terjadi calon tunggal seandainya aliansi atau koalisi politik hari ini yang terjadi tetap dipertahankan untuk Pilpres 2024,” kata Refly dalam sidang permohonan nomor 68/PUU-XIX/2021, Selasa (25/1/2022), dikutip dari CNNIndonesia.com.
Refly juga membahas presidential threshold dari sisi sejarah. Menurutnya, tidak pernah ada pembahasan soal presidential threshold dalam proses amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada 1999-2002.
Dia juga menyebut presidential threshold 20 persen dibuat secara politis. Refly menyebut aturan itu dibuat untuk menjegal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pilpres 2009.
“Kami juga mendapatkan fakta sejarah bahwa presidential threshold 20 persen ini justru dimaksudkan untuk mengadang, waktu itu Susilo Bambang Yudhoyono, untuk dicalonkan pada periode kedua sebagaimana dinyatakan oleh mantan Ketua DPR Marzuki Alie,” tuturnya.
Refly juga menyampaikan presidential threshold membelah masyarakat. Dia memberi contoh kondisi sosial setelah Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. “Ada pernyataan misalnya dari pendukung Pak Jokowi yang membelah masyarakat seolah-olah satu kelompok mendukung si A dan kelompok lain mendukung Pak Jokowi. Nuansa seperti itu disiapkan untuk 2024,” ujar Refly.
Presidential threshold diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal itu mengatur pasangan calon presiden diusulkan parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Aturan itu telah 14 kali digugat sejak 2017. Namun, belum ada satu gugatan pun yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).