FusilatNews – Janji politik bisa menjadi kekuatan penggerak, tapi ia juga bisa menjadi ilusi yang berujung frustrasi jika tidak ditopang oleh logika ekonomi yang kokoh. Prabowo Subianto datang membawa berbagai program yang terdengar mulia: makan siang gratis, peningkatan kesejahteraan tentara dan guru, subsidi untuk rakyat kecil, dan transformasi ekonomi nasional. Namun mari kita pakai logika yang teramat sederhana: bisakah semua janji itu diwujudkan bila APBN tak cukup uang?
Sumber utama dana negara—pendapatan yang digunakan untuk membiayai program—berasal dari dua pos utama: pajak dan hasil bumi. Di tengah pertumbuhan ekonomi global yang melambat, gejolak harga komoditas, serta struktur ekonomi domestik yang masih timpang, andalan kita pada dua sumber ini sudah mulai kehabisan napas. Rasio pajak Indonesia stagnan, belum menembus 12% dari PDB. Bahkan, kebocoran dan penghindaran pajak masih menjadi persoalan klasik yang belum tuntas. Di sisi lain, ketergantungan kita pada ekspor komoditas mentah membuat penerimaan dari sektor hasil bumi sangat fluktuatif dan rentan terhadap pasar global.
Jadi, ketika semua saluran penerimaan negara menunjukkan batasnya, maka satu-satunya pintu yang terbuka lebar adalah: utang.
Tentu saja pemerintah bisa tetap ngotot menjalankan janji-janji besar dengan membiayainya lewat pinjaman. Tapi seperti kita tahu, utang bukanlah uang gratis. Ia datang dengan beban bunga dan kewajiban bayar yang terus meningkat. Saat ini saja rasio utang terhadap PDB sudah mengarah ke ambang waspada, dan lebih dari 25% belanja APBN kita sudah digunakan hanya untuk membayar bunga utang. Ini artinya, negara bekerja keras bukan lagi untuk rakyat, tapi untuk para pemberi pinjaman.
Sekarang mari kita tarik satu simpul sederhana: semua janji hanya bisa dilunasi bila ekonomi tumbuh tinggi, setidaknya di atas 6% secara konsisten. Sayangnya, sejak pandemi hingga kini, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus tertahan di angka 5%-an. Pertumbuhan seperti itu tidak cukup untuk menciptakan efek bola salju berupa peningkatan daya beli rakyat, penyerapan tenaga kerja, dan ekspansi usaha secara luas. Alih-alih, dengan pertumbuhan rendah, rakyat justru mengalami penurunan daya beli, ancaman PHK, dan makin terbatasnya peluang kerja.
Siklusnya jelas: ekonomi tumbuh lambat → konsumsi dan daya beli rakyat melemah → produksi turun → PHK meningkat → penerimaan pajak menurun → APBN makin sempit → utang makin besar → ruang fiskal makin sempit untuk membiayai program. Dalam logika awam pun, ini adalah lingkaran setan yang mustahil menciptakan perubahan positif tanpa perombakan struktural yang serius.
Jadi, apa gunanya janji-janji besar jika fondasi ekonominya rapuh?
Logika yang teramat sederhana ini seharusnya menjadi kesadaran kolektif: bahwa pembangunan bukan sekadar retorika politik, tapi soal keseimbangan antara keinginan dan kemampuan. Bila keinginan lebih besar daripada kemampuan, maka yang lahir bukan kemajuan, melainkan beban yang diwariskan ke generasi berikutnya.