Damai Hari Lubis-Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Sesuai data yang berasal dari arsip KPU, Jokowi adalah alumni S1 tahun 1985, Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM). Ijazah tersebut digunakan oleh Jokowi dalam rangka mengikuti pemilu capres 2014-2019 dan 2019-2024.
Analisis sederhana publik terhadap keberadaan fotokopi ijazah yang beredar menunjukkan bahwa wajah Jokowi yang tertera dalam fotokopi ijazah tersebut tidak identik dengan wajah aslinya, termasuk mata, telinga, hidung, dan giginya. Hal ini membuat publik umumnya meragukan bahwa Jokowi adalah alumni S1 UGM.
Keraguan publik terhadap keaslian ijazah Jokowi, selain dipertanyakan, juga dihina oleh publik melalui berbagai media sosial. Namun, baik Jokowi maupun PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi), yang berfungsi sebagai pengelola dan penyampai dokumen yang dimiliki oleh badan publik sesuai dengan amanat UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, termasuk para anggota parlemen di Senayan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, tetap bisu dan tidak bergeming.
Tudingan publik terhadap Jokowi sebenarnya merupakan delik, namun publik yang berencana melaporkan diyakini terhalang oleh obstruksi dari pihak aparatur yang tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, muncul gugatan dari beberapa elemen masyarakat sebagai representasi tudingan publik kepada Jokowi dan terhadap pihak-pihak tergugat lainnya, termasuk beberapa menteri (eksekutif), lembaga legislatif dan yudikatif (MPR RI, DPR RI), serta Ketua Pengadilan Negeri Surakarta. Gugatan ini berpokok pada tuduhan bahwa “Jokowi menggunakan ijazah palsu” yang digunakan sebagai dasar keikutsertaannya dalam Pilkada Walikota Surakarta, Pilgub DKI, dan dua kali pemilu pilpres (2014-2019 dan 2019-2024). Sehingga, dua pemilu pilkada Surakarta dan Jakarta dapat menjadi unsur pembuktian adanya mens rea atau dolus directus (sengaja dan berencana melakukan kejahatan) dengan modus operandi ingin berkuasa melalui perbuatan delik.
Pokok perkara gugatan terhadap Jokowi adalah mengenai “perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa” atau onrechtmatige overheidsdaad (OOD) sesuai Pasal 1365 BW yang dilakukan oleh Jokowi. Hal ini tertuang dalam posita dan petitum gugatan dengan segala risiko akibat hukumnya, karena menyentuh kebohongan publik, memberikan dan menggunakan surat autentik palsu, serta melanggar tindak pidana pemalsuan akta autentik dan menggunakannya seolah-olah asli. Para penggugat prinsipal yang diwakili oleh kelompok TPUA (Tim Pembela Agama & Aktivis) berharap gugatan OOD mendapatkan putusan, baik berupa putusan deklaratoir, konstitutif, maupun kondemnatoir dalam ranah hukum perdata.
Secara pidana, jika kelak bisa dibuktikan terkait penggunaan ijazah palsu tersebut, Jokowi dapat dituntut dengan berbagai pasal pidana yang berlapis, di antaranya pasal konkursus/delik samenloop Pasal 64, 65 juncto Pasal 264, 266 KUHP juncto Pasal 55 (delneming) juncto UU Diknas yang lama, berdasarkan tempus delikti. Belum ada hitungan kadaluwarsa (Pasal 78 KUHP), karena belum ada pelaporan yang diterima dan belum ada faktor inkracht (berkekuatan hukum tetap).
Perilaku Jokowi dikategorikan sebagai mala in se, yaitu “Jika sebuah peristiwa dasarnya merupakan pelanggaran hukum maka sampai kapan pun merupakan pelanggaran.” Berdasarkan prinsip teori pertanggungjawaban hukum, “Bahwa setiap orang yang melanggar norma dan ketentuan hukum harus mendapatkan sanksi hukum.” Terlebih lagi, negara RI merujuk konstitusi berdasarkan rule of law. Maka, perlu dibuktikan terlebih dahulu, apakah Jokowi benar pengguna ijazah palsu?
Jika terbukti benar, maka Jokowi merupakan sosok amoral dan tidak pantas untuk berkompetisi dalam setiap pemilu pilkada. Seharusnya, ia tidak pantas ikut serta dalam dua kali pilpres, dan substansial dirinya tidak sah berkompetisi dan mengalahkan seorang Prabowo yang asli lulusan Akademi Militer dan notabene seorang letnan jenderal. Hal ini berimplikasi pada Prabowo mengalami intrik-intrik pemilu dalam bentuk kerugian materil maupun immaterial.
Sebagai bukti pembenaran pada istilah “Jasmerah” (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah), pepatah ilmiah terhadap pelanggaran moralitas yang menipu ratusan juta bangsa ini oleh Jokowi, maka sebagai fungsi manfaat hukum, yakni efek jera bagi pelaku dan bakal calon pelaku kejahatan, serta fungsi kepastian hukum, hukum harus ditegakkan. Terhadap pelaku pelanggar hukum harus ada putusan hukum, dan hukum harus berlaku adil, baik kepada korban masyarakat bangsa dan termasuk negara RI di mata dunia internasional, yang memiliki presiden amoral dan pelanggar hukum namun tidak diberi sanksi hukum.
Proses hukumnya simpel: presiden terpilih pemilu pilpres 2024, Prabowo Subianto, dengan hak prerogatifnya dapat memerintahkan Kapolri dan/atau Jaksa Agung untuk sesegera mungkin setelah pelantikannya pada 20 Oktober 2024, memproses perkara dugaan ijazah palsu Jokowi. Investigasi dan penyidikan dapat dimulai dengan pemeriksaan para karyawan rektorat dan rektor UGM, dekan Fakultas Kehutanan, serta mengumpulkan arsip rektorat UGM dan KPUD Surakarta, termasuk menggunakan metode laboratorium forensik sebelum proses hukumnya digelar di pengadilan negeri.
Diyakini dalam proses hukum berjalan, para oposisi eks kawan lama Prabowo saat pemilu pilpres 2019 bakal ‘pro sisi’ melalui berbagai dukungan terhadap kebijakan politik hukum yang objektif dan positif bagi seluruh bangsa ini lintas SARA.
Maka, andai kelak terbukti tuduhan publik ini, bahwa Jokowi memang berencana melakukan penipuan terhadap bangsa dan seluruh lembaga negara, termasuk kepada Prabowo Subianto, Jokowi adalah seorang yang tak tahu malu, amoral, atau tak beradab, dengan mental kriminal. Oleh karenanya, hukum mesti ditegakkan dengan kepastian. Jangan sampai seorang pemimpin amoral mendapatkan segala gelar kebaikan dan kehormatan, karena itu sama saja dengan menyeret bangsa ini menjadi bangsa yang tak bermoral dan berpredikat mudah ditipu.