Oleh : Damai Hari Lubis – Aktifis Mujahid 212
Dalam politik, kesalahan bisa berarti krisis, dan krisis bisa menghancurkan sebuah bangsa. Memahami kegagalan kepemimpinan yang tidak berdasar pada pertimbangan matang adalah langkah pertama untuk menghindari pengulangan sejarah yang kelam. Mari kita menyoroti bagaimana keputusan yang terburu-buru, tanpa perhitungan, dan tanpa dukungan konsultasi ahli telah membawa dampak besar dalam kepemimpinan dunia—contoh utamanya adalah George W. Bush dan serangan ke Irak, dan, di Indonesia, Presiden Jokowi.
Judul “Presiden yang Keliru” bukanlah sekadar satire atau ejekan, melainkan sebuah refleksi dari pola kepemimpinan yang tampak kurang perhitungan. Seperti yang terlihat pada keputusan Bush untuk menyerang Irak pada 2003, dunia menyaksikan betapa negara itu hancur berkeping-keping karena keputusan yang terlalu gegabah, mengabaikan berbagai nasihat ahli, termasuk dari kalangan kepala negara di seluruh dunia. Meskipun diberi peringatan berkali-kali bahwa serangan itu akan memicu ketidakstabilan di Timur Tengah, Bush tetap maju dengan keyakinan yang buta dan mengabaikan prediksi serta saran yang diberikan kepadanya.
Di Indonesia, Presiden Jokowi tampaknya juga menunjukkan pola yang mirip dalam hal ketidakkonsistenan dan kurangnya perhitungan. Dalam beberapa kesempatan, Jokowi membuat janji yang terdengar tegas—misalnya, komitmennya untuk menghentikan impor pangan atau utang luar negeri—namun kenyataannya berbanding terbalik dengan janji tersebut. Ketika keputusan-keputusan penting diambil dengan dasar yang kurang matang atau bahkan tanpa konsultasi dari para ahli di bidangnya, sebuah negara tidak hanya mempertaruhkan stabilitas ekonominya tetapi juga masa depan generasi berikutnya.
Apakah pola seperti ini mencerminkan ketidaktahuan atau sesuatu yang lebih dalam, seperti kegagalan memahami konteks dan dampak jangka panjang? Ada beberapa kemungkinan:
- Manajemen dan Estimasi Politik yang Buruk
Keputusan yang keliru sering kali berakar pada perhitungan yang salah atau buruknya estimasi dalam memprediksi akibatnya. Ketika seorang pemimpin tidak mempertimbangkan berbagai skenario atau dampak jangka panjang, hasilnya adalah kebijakan yang mungkin tampak efektif dalam jangka pendek namun menghancurkan dalam jangka panjang. Kurangnya Konsultasi dengan Ahli
Seorang pemimpin yang mengabaikan pendapat para ahli, atau yang dikelilingi oleh staf yang tidak kompeten, berisiko tinggi membuat keputusan yang berdampak negatif bagi masyarakat. Keputusan Bush untuk menyerang Irak merupakan contoh nyata dari pemimpin yang menutup diri dari saran-saran yang berharga. Jokowi pun, dalam beberapa kebijakan domestiknya, kerap kali tampak tidak konsisten, terutama dalam aspek ekonomi dan tata kelola sumber daya alam.Kesalahan dalam Manajemen Risiko
Pemimpin yang bijaksana harus memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko dengan hati-hati. Ketika perhitungan risiko dilakukan dengan sembrono atau bahkan diabaikan, maka keputusan yang diambil berisiko besar. Kecenderungan untuk “jalan terus” tanpa pemikiran panjang dan matang dapat menciptakan krisis yang sesungguhnya bisa dihindari.Pemahaman yang Terbatas akan Dampak Jangka Panjang
Kegagalan memahami dampak jangka panjang adalah tanda dari kelemahan dalam kepemimpinan strategis. Pola pikir yang hanya berfokus pada hasil instan dan popularitas jangka pendek sering kali mengabaikan konsekuensi yang jauh lebih luas.
Maka, dalam konteks ini, istilah “idiot” merujuk bukan kepada hinaan, melainkan sebuah gambaran tentang betapa buruknya dampak yang dihasilkan oleh seorang pemimpin yang gagal memahami situasi dengan matang. Analogi yang kita gunakan tentang tahap-tahap perkembangan mental memberikan gambaran yang jelas: seorang presiden tidak boleh hanya mengambil keputusan berdasarkan “feeling” atau tanpa landasan pengetahuan dan pertimbangan yang kuat.
Kesimpulan: Belajar dari Kegagalan Kepemimpinan Tanpa Perhitungan Matang
Presiden, baik di tingkat global maupun nasional, bertanggung jawab atas nasib jutaan orang. Ketika keputusan yang diambil tidak berdasarkan pemikiran yang matang, dampaknya bisa sangat merusak dan membawa negara ke jurang kehancuran. Kepemimpinan bukanlah sekadar posisi; itu adalah amanah yang harus dilaksanakan dengan penuh perhitungan, kecerdasan, dan kepekaan terhadap masa depan bangsa.
Dari Bush hingga Jokowi, kita belajar bahwa setiap keputusan politik memiliki konsekuensi besar. Sifat gegabah dalam kepemimpinan hanyalah jalan menuju kehancuran. Kepemimpinan yang baik membutuhkan akal sehat, kebijaksanaan, dan keberanian untuk mendengarkan para ahli yang benar-benar paham di bidangnya.