Ketika laut Bekasi mulai dipagari, rusak, dan direncanakan untuk beralih fungsi, tidak hanya alam yang dirugikan, tetapi juga masa depan lingkungan hidup masyarakat di sekitarnya. Laut yang seharusnya menjadi sumber kehidupan dan keberlanjutan bagi ekosistem laut dan warga pesisir, kini justru menghadapi ancaman besar akibat proyek pemagaran yang kontroversial. Namun, apa yang dilakukan oleh para senator yang berasal dari daerah ini? Sayangnya, mereka diam atau malah melawak, seperti Komeng, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jawa Barat.
Dalam sebuah wawancara, ketika ditanya tentang sikapnya terkait isu pemagaran laut Bekasi, Komeng justru bercanda dengan humor yang tidak lucu. Aksinya ini tidak hanya menunjukkan ketidakpekaan terhadap masalah serius yang dihadapi masyarakat, tetapi juga menggambarkan kegagalannya memahami kedudukan dan tanggung jawabnya sebagai senator. Tindakan Komeng mencerminkan kelemahan mendasar dalam fungsi DPD, lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyuarakan aspirasi daerah.
Sebagai anggota DPD, tugas utama Komeng bukanlah melawak atau sekadar hadir dalam rapat untuk menerima gaji. Ia seharusnya berteriak lantang, mengecam, dan bahkan jika diperlukan, menduduki kantor kementerian terkait untuk menghentikan proyek yang jelas-jelas merusak lingkungan hidup. Komeng memiliki mandat dari rakyat Jawa Barat, termasuk mereka yang terdampak langsung oleh rusaknya laut Bekasi. Namun, alih-alih memperjuangkan nasib mereka, ia justru menunjukkan ketidakmampuan dan ketidaktahuannya tentang apa yang harus dilakukan.
Proyek pemagaran di laut Bekasi tidak hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga mengancam mata pencaharian para nelayan dan keseimbangan lingkungan yang telah terjaga selama bertahun-tahun. Ini bukan sekadar isu lokal; ini adalah persoalan nasional yang menyangkut kelangsungan lingkungan hidup Indonesia. Ironisnya, di tengah kerusakan yang nyata, DPD – lembaga yang konon didesain untuk memperjuangkan kepentingan daerah – malah menjadi simbol ketidakberdayaan.
Kritik terhadap Komeng bukan hanya kritik terhadap satu individu, tetapi terhadap sistem DPD itu sendiri. Selama ini, lembaga ini lebih banyak dianggap sebagai “papan nama” tanpa kontribusi signifikan terhadap kebijakan daerah atau nasional. Kehadiran tokoh seperti Komeng, yang tidak memahami tanggung jawabnya, semakin menguatkan citra DPD sebagai lembaga yang hanya “duduk dan terima duit.”
Masyarakat Jawa Barat, terutama mereka yang terdampak langsung oleh kebijakan merusak seperti proyek pemagaran laut Bekasi, membutuhkan pemimpin yang berani dan memiliki keberpihakan jelas kepada rakyat. Mereka membutuhkan senator yang mampu berdiri di garis depan, bukan yang hanya mencari panggung dengan melawak. Jika Komeng tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai wakil daerah, sudah saatnya ia mempertimbangkan untuk mundur dan memberikan tempat kepada mereka yang benar-benar peduli.
Laut Bekasi dan lingkungan hidup Indonesia adalah warisan berharga yang harus dilindungi, bukan dihancurkan demi kepentingan segelintir pihak. Dan untuk melindungi warisan ini, diperlukan keberanian, integritas, dan keseriusan – tiga hal yang tampaknya tidak dimiliki oleh Komeng dan sebagian besar anggota DPD.