Siasah – berasal dari akar kata Arab yang bermakna politik, manajemen, dan strategi – adalah permainan taktis yang sering kali digunakan bukan untuk melayani kebaikan bersama, tetapi untuk mengokohkan kekuasaan pribadi atau golongan. Dalam praktiknya, siasah jahat ibarat perburuan bayang-bayang, di mana pelaku sengaja menciptakan kegelapan agar dapat memanipulasi yang mencari terang.
Dalam siasah jahat, kita sering menyaksikan bagaimana tirani tersembunyi di balik jargon demokrasi, keadilan menjadi retorika kosong, dan rakyat hanya pion dalam skenario besar yang ditulis para dalang kuasa. Konsep plausible deniability – istilah asing yang bermakna penyangkalan yang masuk akal – menjadi tameng mereka. Mereka bermain di wilayah abu-abu, bersembunyi di celah aturan, menenun strategi dalam kegelapan, sementara kita semua terjebak mencari jawab di ruang yang sebenarnya telah mereka atur.
Bukankah ini yang sering terjadi dalam politik kita? Barang yang hilang – berupa keadilan, kesejahteraan, dan kebenaran – tak pernah benar-benar dicari di tempat di mana ia lenyap. Sebaliknya, upaya pencarian diarahkan ke wilayah terang, tempat opini publik mudah dimanipulasi, dan narasi dapat dikendalikan.
Di bawah cahaya terang media, janji-janji bombastis ditebarkan seperti confetti di pesta pora kekuasaan. Namun, di sudut gelap, tak jauh dari kamar, siasah jahat itu merajut agenda-agenda tersembunyi. Mereka yang berkuasa tampak seperti philosopher kings, namun sering kali hanya menjadi aktor dalam drama Machiavellian – sebuah istilah dari Niccolò Machiavelli yang mengacu pada strategi manipulasi tanpa moral demi meraih tujuan.
Refleksi Filosofis: Cahaya dan Kegelapan
Dalam renungan filsafat, cahaya dan kegelapan adalah dualitas yang abadi. Kegelapan bukanlah ketidakberadaan cahaya, melainkan tempat di mana cahaya dipersembunyikan. Begitu pula siasah jahat: ia bukanlah nihilnya kebaikan, melainkan manipulasi atas kebaikan itu sendiri.
Kita, sebagai masyarakat, sering terlena oleh yang terang, seolah cahaya adalah penanda kebenaran. Padahal, terkadang, keadilan sejati hanya bisa ditemukan dengan berani masuk ke kamar yang gelap, menyalakan lentera, dan menyingkap apa yang disembunyikan.
Menemukan yang Hilang
Kegelapan, seperti yang diajarkan para filsuf, bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dihadapi. Saat siasah jahat menjerat bangsa dalam labirin manipulasi, tugas kita adalah menjadi para pencari yang berani – pencari yang memahami bahwa terang dan gelap hanyalah ilusi jika tak diimbangi oleh kejernihan hati.
Di penghujung narasi ini, kita bertanya: siapkah kita berhenti mencari di luar kamar yang terang, dan memulai langkah untuk menyusuri kegelapan? Karena hanya dengan keberanian menghadapi siasah jahat, kita bisa menemukan barang yang hilang: keadilan yang sesungguhnya.