Sejak masa pemerintahan SBY, saya merasa risih mendengar ketika Presiden SBY menyebut istrinya sebagai “Ibu Negara.” Hal ini berlanjut hingga era Presiden Jokowi. Namun, dalam beberapa tweet di X (dulu Twitter), Presiden Jokowi belakangan menyebut istrinya dengan “Ibu Iriana.”
Mengapa saya protes? Melalui surat elektronik yang saya kirimkan kepada Sekretariat Negara, baik pada era SBY maupun Jokowi, saya menyampaikan alasan mengapa tidak pantas menyebut istri Presiden sebagai Ibu Negara.
Kita memang belum memiliki julukan khusus untuk istri Presiden. Di Amerika Serikat, istri Presiden tidak disebut Ibu Negara, melainkan diberi gelar “First Lady.”
Baca Ulang : https://fusilatnews.com/ibu-iriana-kok-dijuluki-ibu-negara/
Apa dasar julukan Ibu Negara untuk istri Presiden? Padahal dalam konstitusi, tidak ada satu pasal pun yang secara terpisah menjelaskan peran Presiden sebagai Kepala Negara. Secara yuridis, memisahkan jabatan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara sangatlah penting. Kedua fungsi jabatan tersebut pada situasi tertentu sangat vital. Presiden bisa saja membuat kesalahan (karena sebagai Kepala Pemerintahan, dia adalah representasi aspirasi partai politik/might be wrong). Namun, Kepala Negara dianggap tak bisa berbuat salah/can do no wrong. Ia harus dihormati oleh semua elemen dalam negara dan pemerintahan.
Dalam sistem parlementer, posisi Presiden dan Kepala Negara dipegang oleh dua orang berbeda, seperti Perdana Menteri dan Presiden. Namun, dalam sistem presidensial seperti di Amerika Serikat, Presiden dan Kepala Negara dipegang oleh satu orang. Di Inggris ada Perdana Menteri dan Raja, sedangkan di Jepang ada Perdana Menteri (Sorri daijin) dan Kaisar (Teno Heika).
Kembali ke soal julukan Ibu Negara. Saya mencatat, ketika Megawati menjabat sebagai Presiden, almarhum Taufik Kiemas tidak disebut sebagai “Bapak Negara” oleh Presiden. Taufik Kiemas sering disebut sebagai Suami Presiden.
Dalam sebuah negara, hanya ada satu Kepala Negara. Jadi, tidak ada Ibu Negara.