KPK dan sejumlah lembaga itu kemudian turun ke tiga provinsi dan memeriksa enam rumah sakit sebagai sampel. Hasilnya, ditemukan tiga rumah sakit yang diduga melakukan klaim fiktif.
Jakarta – Fusilatnews – Skandal klaim fiktif dari rumah sakit untuk mendapatkan uang dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) diungkap oleh Tim gabungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
Tim yang terdiri dari KPK, Kemenkes, BPJS, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan tiga rumah sakit (RS) swasta yang mengajukan klaim fiktif sehingga menimbulkan kerugian negara puluhan miliar rupiah pada 2022-2023.
“Ternyata di tiga rumah sakit ada tagihan klaim 4.341 kasus tapi sebenarnya ada 1.000 kasus di buku catatan medis,” kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (24/7/2024).
“Jadi sekitar 3.000-an itu diklaim sebagai fisioterapi tapi sebenarnya enggak ada di catatan medis (fiktif),” ujar dia melanjutkan.
Pahala menjelaskan, awalnya tim gabungan menindaklanjuti temuan BPJS Kesehatan soal dugaan fraud akibat klaim fiktif RS.
KPK dan sejumlah lembaga itu kemudian turun ke tiga provinsi dan memeriksa enam rumah sakit sebagai sampel. Hasilnya, ditemukan tiga rumah sakit yang diduga melakukan klaim fiktif.
Rumah sakit itu adalah RS A di Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dengan nilai klaim Rp 1 miliar sampai Rp 3 miliar.
Kemudian, RS B di Provinsi Sumut dengan nilai klaim Rp 4 miliar sampai Rp 10 miliar. Lalu, RS C Provinsi di Jawa Tengah senilai Rp 20 miliar sampai Rp 30 miliar.
Menurut Pahala terdapat sejumlah modus kecurangan RS dalam mengeklaim uang dari BPJS, salah satunya adalah phantom billing yang menurutnya merupakan bentuk kecurangan paling parah.
Modus phantom billing, pihak RS mengajukan klaim atas pemeriksaan pasien atau tindakan medis yang sebenarnya tidak ada.
Modus itu dilakukan pihak RS dengan membuat acara bakti sosial untuk mengumpulkan data-data pribadi seperti kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan nomor kartu BPJS.
Para pelaku kemudian membuat data fiktif bahwa seolah-olah pengguna BPJS terjangkit penyakit tertentu sehingga harus diobati
Pihak RS kemudian menerbitkan surat kelayakan untuk memenuhi standar tertentu. Mereka bahkan tidak segan menggunakan data dokter yang tidak lagi bekerja di tempat tersebut.
Mereka mengatur dengan sangat rapi agar pengguna BPJS yang menderita sakit tertentu didukung pendapat medis dokter hingga tindakan-tindakan yang dilakukan.
“Itu benar-benar bagus banget. Jadi dia dengan keluarganya, dokter juga, jadi dokter-dokter itu diagnosisnya sudah mendukung semua lah buat klaimnya,” kata Pahala.
Selanjutnya, pelaku membuat rekam medis, resume medis, catatan program pasien, dan pemeriksaan penunjang. “Itu (dokumen) lengkap semua baru dia sampaikan klaim (ke BPJS),” tutur Pahala.
“Jadi ini memang komplotan beneran,” ujar dia.
Kemudian, modus selanjutnya adalah phantom/manipulation diagnosis, yakni pihak RS mengajukan klaim atas tindakan medis yang telah dimanipulasi. Contohnya, RS mengajukan klaim atas operasi katarak terhadap 39 pasien, padahal hanya 14 pasien yang dioperasi katarak, sisanya merupakan pasien penyakit lain yang telah dimanipulasi.
Modus kecurangan lainnya adalah repeat billing dengan mengajukan klaim yang sama kepada BPJS, tujuannnya agar mendapatkan uang dari BPJS lebih banyak. ,
Pemkot Semarang dan RSWN Luncurkan Aplikasi Wongso Sultan Mataram Pelaku pemilik RS sampai keluarga
Pahala mengungkapkan, setidaknya dari satu rumah sakit yang mengajukan klaim fiktif terdapat 8 orang pelaku, antara lain adalah pemilik RS karena fasilitas kesehatan tersebut berstatus swasta.
“Banyak, dari pemilik, ada keluarganya, dokter, delapan sepertinya, intinya ini enggak mungkin sendiri,” kata Pahala.
Uang panas hasil klaim fiktif kemudian mengalir ke rekening rumah sakit yang dikuasai pemiliknya. Uang tersebut bisa juga mengalir ke para dokter yang diminta untuk membuat dokumen palsu.
“Ya dokternya enggak tahu, kita mesti lihat perannya kayak apa, mungkin dia dibayar sebagai dokter biasa dipaksa cuma bikin dokumen,” tutur Pahala.
KPK pun telah sepakat untuk mengusut kasus klaim fiktif tersebut. Apabila pelakunya tidak memenuhi unsur penyelenggara negara, KPK akan melimpahkannya ke aparat penegak hukum lain
Sementara itu, Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi Agustina Arumsari atau Sari menyatakan pihaknya siap membantu perhitungan kerugian negara dalam skandal tersebut.
Sari mengingatkan, selain terdapat Permenkes Nomor 16 tahun 2019, masih terdapat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Kalau terkait dengan penyimpangan yang merugikan keuangan negara tentu ini akan menjadi ranah tindak pidana korupsi,” ujar Sari.
Direktur Kepatuhan dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Mundiharno mengeklaim tidak ada pegawainya yang terlibat dalam skandal ini.
Ia mengatakan, dugaan fraud ini justru pertama kali diungkap oleh pegawai BPJS Kesehatan sebelum ditindaklanjuti bersama KPK, Kemenkes, dan BPKP.
Menurut Mundi, pegawai BPJS bahkan turun ke lapangan, melakukan verifikasi ke pasien sehingga terungkap modus dalam phantom billing.
“Kalau sampai terjadi ditemukan pegawai yang melakukan itu sudah pasti dikenakan sanksi berat,” ujar Mundi. Izin praktik bisa dicabut
Inspektur Jenderal (Irjen) Kemenkes Murti Utami atau Ami menyatakan, izin praktik pihak rumah sakit maupun dokter yang terlibat dalam skandal tersebut bisa dicabut.
Sanksi ini merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 16 Tahun 2019. “Yang cukup berat pencabutan izin praktek dari pelaku tersebut,” kata Ami di KPK.
Ia mengatakan, Kemenkes memiliki sistem informasi yang memuat data identitas tenaga kesehatan, faskes tempat bekerja, nomor induk kepegawaian (NIK), hingga surat izin praktek (SIP).
Individu seperti dokter yang terlibat bisa dicatat dalam sistem tersebut. Kemudian, Kemenkes bisa membekukan Satuan Kredit Profesi (SKP) Dokter. Setiap tahun, dokter harus mengumpulkan 50 angka kredit untuk menjaga kompetensi.
“Kalau enam bulan kita bekukan (izin praktiknya), mungkin tidak terpenuhi kan,” tutur Ami.
Pahala menambahkan, BPJS juga bisa menghentikan kerja sama dengan pihak RS. Namun, pencabutan izin praktek menjadi pilihan terakhir jika pihak RS dan mereka yang terlibat tidak kooperatif melaksanakan rekomendasi tim gabungan.
“Ya itu yang terakhir itu, makanya kalau rumah sakitnya dihentikan kerjasamanya, wah itu, sebenarnya kayak yang satu itu rumah sakit di perkebunan, alternatifnya apa?” ujar Pahala.
Selain mengusut tiga RS yang melakukan korupsi, tim gabungan mengingatkan RS lain yang melakukan fraud agar mengembalikan uang panas itu ke BPJS sesuai Permenkes Nomor 16 Tahun 2019.
“Makanya kita lebih persuasif saja, kalau selama ini melakukan sudah ngaku saja dulu, soal ngaku nanti saya enggak ada uangnya dulu, ya boleh, cicil saja boleh, koreksi klaimnya dicicil,” kata Pahala.