Damai Hari Lubis-Ketua Aliansi Anak Bangsa
Abstrak: Jokowi jika terbukti melakukan delik HARUS DIPENJARA
A. Pendahuluan
Sebelum membahas makna negara, perlu dipahami penyebab berdirinya sebuah negara. Setidaknya ada empat faktor yang melahirkan beberapa teori para filsuf mengenai asal usul terbentuknya negara, yakni: 1. Teori Hukum Alam, 2. Teori Ketuhanan (Teokrasi), 3. Teori Kontrak Sosial (Social Contract), 4. Teori Kekuatan.
- Teori Hukum Alam menjelaskan bahwa negara lahir karena adanya kekuasaan alam yang berlaku di setiap waktu dan tempat, bersifat universal dan tidak berubah. Beberapa filsuf yang menjadi tokoh teori ini adalah Plato, Aristoteles, Santo Agustinus, dan Thomas Aquino.
Teori Ketuhanan meyakini negara terbentuk karena kehendak Tuhan. Fredericus Julius Stahl menyatakan negara dapat tumbuh secara perlahan, bermula dari keluarga dan bangsa, kemudian menjadi sebuah negara.
Teori Kontrak Sosial atau teori perjanjian, Jean Jacques Rousseau mengemukakan bahwa sebelum terbentuknya negara, masyarakat hidup secara individual, bebas, dan sederajat. Namun, kondisi tersebut membuat masyarakat tidak merasa aman karena serangan dari luar. Maka dari itu, masyarakat membuat kontrak sosial atau kesepakatan untuk membentuk negara. Dalam konsep ini, kekuasaan negara berada di tangan rakyat, karena merekalah yang menentukan pemimpin dan wakil rakyatnya. Negara harus tunduk pada batasan yang telah ditetapkan oleh masyarakat.
Teori Kekuatan didukung oleh ahli filsafat seperti Jean Bodin, Oppenheimer, dan Chris Jenks. Teori ini menjelaskan bahwa negara terbentuk karena dominasi oleh kelompok yang memiliki kekuatan, baik melalui proses penaklukan dan pendudukan, maupun melalui pertarungan kekuatan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Contoh nyata dari teori ini adalah pembentukan negara-negara baru setelah masa penjajahan oleh bangsa barat pada awal abad ke-20, di mana kemerdekaan banyak negara ditentukan penguasa kolonial.
Sementara itu, Mac Iver menyebutkan bahwa sebuah negara harus memiliki tiga unsur pokok, yaitu wilayah, rakyat, dan pemerintahan. Menurut Mac Iver, negara yang baru lahir pada dasarnya tidak membutuhkan syarat pengakuan dari negara-negara lainnya yang sudah ada sebagai syarat pokoknya, apa yang dapat menjadikan sebuah wilayah dan penduduknya dinyatakan sebagai sebuah negara.
B. Pembahasan
Makna kemerdekaan sebuah negeri yang ingin bebas dari kolonialis atau memisahkan diri dari sebuah negara (yang sudah terbentuk sebelumnya) kembali menjadi perdebatan.
Wacana mengenai kemerdekaan Jawa Barat merupakan reaksi dari sahabat penulis asal Bandung, Rizal Fadilah. Gagasan ini bukan berasal dari dirinya sendiri, melainkan representasi dari banyak tokoh Jawa Barat dan diperkirakan akan diikuti oleh tokoh-tokoh dari wilayah lainnya. Rizal memberikan peringatan bahwa akibat sepak terjang Jokowi, jika tidak dibenahi melalui tindakan antisipatif oleh Prabowo sebagai Presiden RI ke-8, kemudian dilanjutkan oleh Gibran, putra Jokowi, maka kekesalan ini akan semakin berkembang.
Nampak dari teori berdirinya sebuah negara, ada hal yang spesifik dari jelmaan baru, yakni penulis menyebut atau menamainya sebagai Teori Kekesalan. Teori ini lahir dari rezim kepemimpinan 1 dekade sebagai bentuk konspirasi tiga lembaga akibat revolusi mental pemimpinnya, yang berakibat lembaga trias politika sepakat menipu dan membodohi rakyatnya sehingga menafikan konstitusi dasar tentang wajib belajar atau wajib merubah dari alam kebodohan ke alam dunia modern yang harus berpacu dalam ilmu pengetahuan (ilmiah). Dengan gejala-gejala attitude leadership seorang Jokowi yang bekerja dengan program tak jelas, kebohongan-kebohongan yang “spektakuler,” serta transparansi ingin mengangkangi konstitusi batas kekuasaan presiden yang hanya boleh 2 (dua) periode.
Ide awal dari teori ini, teori yang akan lahir (diakui) setelah akibat teori kekesalan realistis terjadi. Dan mudah-mudahan tidak terjadi.
Dalam teori ini negara terbentuk dari pemisahan diri namun berbeda dari teori-teori para filsuf, ahli sejarah, dan sosiologi hukum yang terkenal dan eksis di beberapa abad lampau yang berhasil menciptakan teori berdasarkan bukti empiris.
Hubungannya dengan pola kepemimpinan Jokowi yang berhasil mendistorsi sistem kekuasaan dan pemerintahan metode trias politika Montesquieu melalui pola Machiavellism ala Jokowi, sehingga dianut dalam praktik sistem presidential, yang tidak disadari mimikris implikasinya berubah menjadi pemerintahan oligarki, yakni kelompok kecil yang berkuasa mengatur negara di semua bidang (ekonomi, politik, dan hukum) atau politik kekuasaan yang dikendalikan beberapa orang pejabat tinggi negara yang berkonspirasi jahat dengan segelintir pengusaha.
Lalu apa saja ide Negeri Jawa Barat yang melatarbelakanginya dan bagaimana proses merdeka dari sebuah daerah tersebut dan apa strong point sehingga akan melahirkan Teori Kekesalan? Rizal Fadilah menyampaikan output dari beberapa metode Negara Jawa Barat yang dilatarbelakangi kekesalannya kepada ketiga lembaga (trias politika) namun dirusak serta dihancurkan oleh sosok seorang Jokowi, entah karena faktor kecerdasannya atau karena ada tugas, atau misi tertentu? Sehingga Jawa Barat, versi wacana Rizal, yang punya hak “legal standing” sebagai WNI untuk kebebasan menyampaikan pendapat, antara lain argumentatif hukum disertai historis adalah:
- Adanya pola “pemaksaan” dan “perekayasaan” baik ibukota baru (program IKN) di luar kampanye atau kontrak sosial, melainkan ujug-ujug dari wangsit yang nyasar keliru dan model kepemimpinan nasional yang otoritarian, oligarkis, dan nepotis. Daerah tidak otonom serta sumber daya alam dieksploitasi sekehendak pusat, dikorupsi dan dirampok oleh kepentingan asing sehingga dirasakan Indonesia dalam keadaan (semakin) terjajah.
Sehingga membutuhkan konteks kedaerahan khususnya Jawa Barat (dan Banten) atau masyarakatnya boleh minta opsi otonomi khusus, namun andai ditolak, maka opsi menjadi negara bagian atau Jawa Barat merdeka layak untuk didiskusikan dan dimusyawarahkan secara jernih dan sehat. Menimbang ada konsideran sebelumnya melalui bukti fakta sejarah.
Pernah ada sejarah Negara Pasundan pada 24 April 1948 dengan Presiden pertama dan terakhir RA Adipati Wiranatakoesoema, atau versi lain dideklarasikan 4 Mei 1947 dengan pemimpin Soeria Kartalegawa. Berbendera hijau, putih, dan bermotto “Gemah Ripah, Pasir Wukir, Loh Djinawi” (Kemakmuran dan kegembiraan dari lautan hingga gunung membuat semua orang sejahtera dan panjang umur).
Referensi berita: https://fnn.co.id/post/otsus-negara-bagian-atau-jawa-barat-merdeka
Apakah rela seluruh atau mayoritas warga bangsa ini, yang telah memulai perjuangan dari para pahlawan nasional, para pahlawan revolusi, para founding father yang berdarah-darah, lalu bersatu dari para pemuda yang bersumpah pada 28 Oktober 1928, sehingga ditakdirkan Sang Kuasa atas upaya tumpah darah dengan puncaknya pada hari keramat 17 Agustus 1945, menyatakan kemerdekaannya dan pada 18 Agustus 1945 melahirkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber sistem hukum nasional.
Apa alasan konkrit dan komprehensifnya bahwa tidak ada solusi pemecahannya? Apakah sulit menemukan sumber penyakitnya? Apakah ada langkah solusi yang efektif sebagai langkah politik dan antisipatif hukumnya? Agar tidak terpecah-belah yang berimplikasi bakal ada “wilayah negeri” yang menyusul?
Bukankah lebih baik SUMBER PENYAKITNYA SAJA YANG DIBUNUH? Sebagai upaya implementasi kesembuhan dari perspektif revolusi mental “namun nyata gagal?” Dengan pola konstitusional menggiring Joko Widodo PRA BERAKHIRNYA KEKUASAAN ATAU PASCA KEKUASAAN DEMI KEPASTIAN HUKUM DAN SEJARAH HUKUM KEPEMIMPINAN BANGSA MELALUI MEJA HIJAU MENUJU JERUJI BESI atau ONSTLAG atau bebas karena perilakunya ternyata bukan merupakan delik. Bentuk politik hukumnya (hukum ketatanegaraan) mesti dimulai dengan penolakan terhadap laporan pertanggungjawaban Jokowi pada rapat 16 Agustus 2024 di Gedung MPR. RI atau pasca melalui catatan-catatan hukum atau penguasa baru (Presiden Prabowo Subianto) berdasarkan tampuk kekuasaan atas pemerintahan yang wajib melakukan penegakan hukum.
Apakah keempat teori ini jika dihubungkan dengan fenomena nyata gejala-gejala politik dan gaya kepemimpinan saat ini di negara Republik Indonesia dan bahkan umumnya negara-negara dunia akan berjumpa dengan “Teori Siklus” menurut Ibnu Khaldun? Seorang ilmuwan Muslim yang mengkaji berdasarkan fakta-fakta perkembangan gejala dan yang ada di sekitarnya, lalu mengeluarkan teori bahwa sebuah negara kemungkinan akan mengalami perubahan yang signifikan setelah berjalan sekitar 120 tahun dengan siklus yang terjadi setiap 40 tahun. Apakah Jokowi dan bangsa ini sedang menuju siklus 120 tahun?
Hal teori Ibnu Khaldun, terkait objek teori bakal lapuknya sebuah pemerintahan atau sistemnya dalam kisaran estimasi siklus tertentu (120 tahun), patutnya sementara dikesampingkan, oleh sebab, demi teori keberadaan pelaksanaan dan kewajiban pelaksanaan penegakan hukum di seluruh negara-negara di dunia, dan khususnya terbatas di NKRI merujuk teori konstitusional yang berlaku positif dan eksis, bahwa “SETIAP ORANG EKUALITAS DI MATA HUKUM, DAN NEGARA HUKUM HARUS BISA MENEGAKANNYA” serta mengingat teori mala in se, juncto asas legalitas, “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” atau SEORANG YANG BERSALAH TETAP HARUS DINYATAKAN BERSALAH SEPANJANG ADA ASAS HUKUM SEBELUMNYA, demi terwujudnya fungsi kepastian hukum (legalitas), daya guna (utilitas), serta hakekat/subtansial hukum yakni KEADILAN (justisia), di setiap mata bangsa ini, dan di mata setiap insan manusia umumnya (internasional).
C. Penutup/Kesimpulan
Pada intinya, penulis selaku narasumber pun tidak sudi atau tidak menghendaki lahirnya teori kekesalan ini, oleh sebab jika terbukti. Dengan kata lain, lebih baik bunuh penyakitnya, kemudian gambar penyakitnya dipasung menjadi patung di Kota Bandung yang dikenal sebagai Lautan Api, agar panas historis hukumnya kelak dapat menjalar lalu menyengat ke seluruh negeri sebagai efek jera bagi bangsa ini dan negara yang bermartabat. Patung tersebut menjadi simbol refleksi bagi para calon pemimpin, tidak hanya sebagai simbol role model heroik atau kepemimpinan yang bijaksana, namun juga sebagai cerminan keburukan wajah dan historis kepemimpinan pada bangsa ini.
Paling tidak, narasi-narasi banyak para tokoh aktivis, termasuk Rizal Fadilah dan tokoh senior Prof. Eggi Sudjana, berharap agar Jokowi kelak berakhir di bui atau dipenjara.