Jakarta-Fusilatnews.— KB PII (Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesya), melaksanakan diskusi Rabuan Menara Perubahan, pusat pendukung Capres AMIN, berthema “Mungkinkah TNI dan Polri Netral dalam Pemilu 24?”. Kegiatan rutin Reboan tersebut dikordinir oleh M Toha, yang menampilkan Panelis Selamat Ginting (Pengamat Politik dan Militer Universitas Nasional) dan Hendri Satrio (Pengamat Komunikasi Politik) di jalan Sambas 1 / 10 Kebayuran Baru, Jakarta, 15 November 2023 pagi.
Selamat Ginting yang disertasi doktoralnya dalam ilmu politik, tentang Militer dalam Politik, mengatakan cikal bakal TNI sudah lahir dari laskar sebelum RI merdeka berharap TNI, Polri, dan ASN tetap netral dalam pelaksanaan pemilu, bukan hanya di panggung depan saja, tetapi juga di panggung belakang.
“Jangan hanya dalam pernyataan saja, tetapi harus dalam pelaksanaannya. Mereka aparatur negara, politiknya adalah politik negara. Tidak boleh menjadi pendukung salah satu kontestan pemilu dan pilpres,” kata Selamat Ginting.
Menurutnya, fenomena netralitas pemilu juga sudah terjadi sejak Pemilu pertama pada 1955. Ada upaya partai politik memengaruhi tentara, polisi, dan aparat sipil negara.
Jangan sampai, kata Ginting, seperti Pemilu era Orde Baru. TNI, Polri, dan ASN masuk dalam Golkar sebagai bagian dari ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar). Pemilu hanya formalitas belaka, karena pemenangnya sudah diketahui hingga raihan suaranya.
Selamat Ginting meminta para menteri, dan pejabat negara yang mengikuti pilpres untuk mengundurkan diri, bukan hanya cuti. Prabowo Subianto, Gibran Rakabuming Raka, Muhaimin Iskandar, serta Mahfud MD tidak cukup hanya cuti, tapi wajib mengundurkan diri.
“Contohlah Hatta Rajasa yang maju dalam pilpres 2014, ia mundur sebagai menteri. Itu contoh baik yang harus ditiru.
Ginting juga meminta elite militer dan polisi yang dekat dengan Presiden Jokowi, harus bisa buktikan profesionalismenya sebagai aparatur negara.
“Walau dekat dengan presiden, tapi mereka alat negara. Bukan alat pemerintah apalagi alat pribadi Jokowi,” ujar Ginting.
Menurutnya, para pimpinan TNI dan Polri bisa mengambil contoh teladan dari Jenderal Sudirman, Jenderal AH Nasution, dan Jenderal Ahmad Yani yang berani menentang Presiden Sukarno ketika keputusannya keliru. * Mahdi