Menurut Pasal 39 huruf c UU RI No.34 Tahun 2004, prajurit aktif TNI dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis. Namun, pada masa Orde Baru, ada pengecualian bagi militer yang berbisnis saat masih ABRI (TNI dan POLRI). Pengecualian ini hanya berlaku untuk Perwira Tinggi yang mendapat izin berbisnis langsung dari presiden melalui rekomendasi Menpangab. Izin ini sulit diperoleh dan biasanya diberikan kepada perwira tinggi yang memiliki fungsi khusus terkait kepentingan pertahanan ekonomi, terutama bagi prajurit di lingkungan ABRI.
Namun, jika prajurit TNI secara umum diizinkan berbisnis pada masa reformasi dan di akhir masa kepemimpinan Jokowi, hal ini terasa janggal. Kebijakan ini memerlukan revisi undang-undang, yang tidak hanya membutuhkan biaya tinggi tetapi juga pengesahan dari pihak legislatif. Kebijakan ini bahkan dapat menimbulkan kekacauan dan distorsi politik di negara ini, termasuk “peperangan” antara TNI dan Polri serta perseteruan dengan kelompok warga sipil seperti Banser, yang merupakan bagian dari PBNU jika PBNU mengelola tambang.
Seharusnya, TNI bersama rakyat berfungsi sebagai kekuatan manunggal, dengan tugas melindungi bangsa dan negara. Kebijakan ini justru berpotensi menghancurkan kemanunggalan dengan rakyat, merusak persatuan dan ketahanan bangsa dan negara. Perseteruan dan perpecahan antara TNI dan rakyat dapat dimulai dari persaingan usaha, yang berpotensi memicu perkelahian terbuka dan saling bunuh. Jika terjadi perbedaan pendapat yang tajam, bisa saja kelompok yang berbeda pandangan diserbu oleh TNI.
Di Papua, di mana TNI sering menjadi korban, kebijakan ini dapat memperparah situasi, menyebabkan banyak anggota TNI yang desersi. Selain itu, TNI bisa pecah karena kecemburuan sosial antara prajurit yang bertugas di hutan, di kota, dan yang berbisnis. Chaotic juga akan dipicu oleh pro dan kontra di antara TNI terkait saham mereka bersama individu atau kelompok sipil.
Ide untuk mengesahkan TNI berbisnis merupakan ide yang tidak sehat, dari mana pun datangnya dan apapun alasannya. Ini patut dipertanyakan: sudah sedemikian parahkah kerusakan nalar para petinggi tanah air? Apakah ide ini merupakan dampak dari revolusi mental metode Jokowi atau sekedar opini sesat dari pabrik isu?
Saran publik untuk Jokowi adalah cukup, fokus pada pertanggungjawaban segala diskresinya dari 2019-2024 terkait politik, ekonomi, hukum, dan budaya, dan kinerjanya pada 16 Agustus 2024 di hadapan wakil rakyat (MPR). Sekali lagi, cukup, Jokowi. Rakyat sudah lelah selama 10 tahun ini.
Sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, prajurit TNI aktif tidak boleh menjalankan bisnis baik secara langsung maupun tidak, termasuk menjadi pengurus koperasi dan yayasan.