Ketua Umum Golkar Airlangga, PKB Muhaimin Iskandan dan PAN Zulkifli Hasan, yang belakangan namanya viral karena menyatakan dukungan untuk menunda Pemilu 24 dan memperpanjang jabatan Presiden, ternyata ada duguan terlibat juga urusan tindak pidana korupsi, yang hingga saat ini, kasusnya belum tuntas.
Silahkan simak jejak berita digitalnya, sebagai berikut :
Zulkifli Hasan
TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Umum Partai Amanah Nasional Zulkifli Hasan tidak menghadiri panggilan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) pada Kamis, 16 Januari 2020. Sedianya, bekas Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu bakal diperiksa dalam kasus suap pengajuan revisi alih fungsi hutan menjadi lahan sawit di Riau pada 2014. Kasus itu sebelumnya menjerat bekas gubernur Riau, Annas Maamun.
Zulkifli tidak hadir dengan alasan tidak tahu ada surat panggilan dari komisi antirasuah. “Saya belum tahu bahwa ada surat, makanya saya menghadiri acara di Jambi temu kader PAN dan sekaligus memberikan pengarahan kepada para kader,” kata Ketua Umum DPP Partai Amanah Nasional (PAN) ini, usai menghadiri acara temu kader PAN di Jambi, Kamis, 16 Januari 2020.
KPK berencana memeriksa Zulkifli Hasan sebagai saksi untuk tersangka PT Palma. Pada April 2019, KPK telah mengumumkan tiga tersangka pemberian hadiah atau janji pengajuan revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau kepada Kementerian Kehutanan pada 2014. Tiga tersangka itu adalah PT Palma; Legal Manager PT Duta Palma Group, Suheri Terta; dan Surya Darmadi.
KPK menyangka ketiga pihak itu menyuap Annas Rp 3 miliar untuk mengubah lokasi perkebunan milik PT Duta Palma menjadi bukan kawasan hutan. Dengan begitu, produk perusahaan sawit tersebut mendapat predikat Indonesian Suistanable Palm Oil yang bisa diimpor ke luar negeri.
Nama Zulkifli Hasan sudah disebut-sebut sejak awal kasus alih fungsi hutan itu bergulir. Terpidana kasus itu, Annas Maamun, beberapa kali menyebut namanya sejak pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2014 lalu. Annas mengatakan pernah bertemu Zulkifli di rumah bekas Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu di Jakarta.
Annas mengaku menitipkan permohonan alih status hutan Riau kepada Zulkifli. Di lain kesempatan, ia juga mengatakan bahwa Zulkifli adalah pejabat yang menyetujui revisi izin alih fungsi hutan Riau pada 2014.
Dalam persidangan Annas yang digelar April 2015, Zulkifli dihadirkan sebagai saksi. Saat itu, Jaksa Penuntut Umum mencecarnya dengan berbagai pertanyaan mengenai terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673 tahun 2014 tentang tata ruang di Provinsi Riau.
Zulkifli Hasan mengaku menandatangani surat keputusan tersebut berdasarkan usulan dari Pemerintah Daerah Proivinsi Riau yang diajukan pada tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012. Alasannya menerbitkan Surat Keputusan itu lantaran sudah 20 tahun lebih tata ruang Provinsi Riau tidak kunjung selesai.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung menjatuhkan vonis kepada Annas hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan.
Majelis hakim menyatakan Annas terbukti menerima suap dari pengusaha Gulat Medali Emas Manurung dan Edison Marudut. Gulat dan Edison meminta area kebun sawit di Kabupaten Kuantan Sengingi seluas 1.188 hektare, Bagan Sinembah di Kabupaten Rokan Hilir seluas 1.124 hektare, serta Duri Kabupaten Bengkalis seluas 120 hektare masuk ke dalam surat revisi usulan perubahan luas bukan kawasan hutan di Provinsi Riau.
Selain itu, Annas terbukti menerima hadiah uang sebesar Rp 500 juta dari Gulat agar memenangkan PT Citra Hokiana Triutama milik Edison dalam pelaksana proyek pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Riau. Namun dakwaan ketiga yang mendakwa Annas telah menerima uang Rp 3 miliar untuk melicinkan lokasi perkebunan di empat perusahaan di Kabupaten Indragiri Hulu dianggap tidak terbukti. Hukuman Annas diperberat menjadi 7 tahun penjara di tingkat kasasi.
Di tengah proses penyidikan pengembangan kasus itu, Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 23/G tahun 2019 tentang pemberian grasi tanggal 25 Oktober 2019. Kepres itulah yang mendasari pemberian grasi untuk Annas. Annas akan bebas pada 3 Oktober 2020.
Airlangga Hartarto
tirto.id – Nama Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto terseret dalam sidang dugaan suap terkait kerja sama pembangunan PLTU Riau-1. Hal itu terungkap saat Eni Maulani Saragih menjadi saksi dalam sidang dengan terdakwa pemegang saham PT Blackgold Natural Resources Johannes B Kotjo. Dalam persidangan itu, Eni mengaku pernah ada pertemuan di rumah Airlangga yang dihadiri oleh dirinya, Johannes Kotjo, mantan Sekjen Golkar Idrus Marham, dan Ketua Fraksi Golkar di DPR Melchias Marcus Mekeng. “Ya waktu itu kami memang ke rumah Pak Airlangga Hartarto, ada saya, Pak Kotjo, Pak Idrus Marham dan Pak Mekeng,” kata Eni kepada majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jakarta Pusat, Kamis (11/10/2018). Dalam pertemuan itu, kata Eni, mereka membicarakan sejumlah proyek PLTU. Salah satunya adalah proyek PLTU Tanjung Jati yang mandeg. Eni menjelaskan bahwa proyek itu mandeg karena investor asal Malaysia batal menanamkan modal di sana. Untuk itu, Eni menyampaikan keinginan Kotjo untuk melanjutkan proyek itu dengan menggandeng China Huadian. Diketahui perusahaan asal Cina itu juga berencana menanamkan modalnya dalam proyek PLTU Riau-1. “Kata terdakwa, ini proyek yang cepat menghasilkan uang untuk biaya Pileg, Pilpres dan sebagainya,” kata Eni. Keterangan tersebut juga tercantum di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Eni Saragih yang dibacakan kuasa hukum Kotjo. Dalam BAP tersebut dikatakan bahwa Airlangga tertarik dengan peluang itu, dan kemudian menyatakan akan membantu Kotjo mendapat proyek itu dengan menempatkan Eni sebagai Wakil Ketua di Komisi VII DPR RI yang membawahi urusan energi, riset, teknologi, dan lingkungan hidup, serta bermitra dengan PT PLN Persero. Dalam persidangan, Eni juga membenarkan keterangan di BAP tersebut.
Muhaimin Iskandar
katadata.co.id, -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari Rabu (29/1) memeriksa Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar sebagai saksi kasus korupsi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Muhaimin diperiksa sebagai saksi tersangka Hong Artha yang merupakan penerima hadiah proyek Kementerian PUPR tahun 2016 lalu. Hong Artha jadi tersangka lantaran diduga memberi suap kepada Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Amran HI Mustary senilai Rp 10,6 miliar. Selain itu Direktur Utama PT Sharleen Jaya tersebut juga diduga menyuap Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Damayanti Wisnu Putranti senilai Rp 1 miliar.
“Muhaimin Iskandar sebagai saksi terhadap HA (Hong Artha),” kata Pelaksana tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Rabu (29/1). Muhaimin tiba di KPK pada pukul 10.00 WIB dan telah masuk untuk menjalani pemeriksaan. Namun ia enggan berkomentar tentang kasus tersebut. “Nanti saja ya,” kata pria yang akrab dipanggil Cak Imin ini.
Muhaimin juga didampingi oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabinet Kerja Hanif Dhakiri. Namun kolega separtai Imin itu enggan memberi keterangan kepada awak media yang menuggu. Hari Selasa (28/1) kemarin, KPK juga memanggil Wakil Ketua Dewan Syuro PKB Abdul Ghofur untuk diperiksa dalam kasus yang sama.
Pemanggilan ini merupakan yang kedua setelah Abdul Ghofur tak datang pada November 2019 lalu. KPK telah menetapkan 12 oramg tersangka dalam kasus ini. Adapun Damayanti telah divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider empat bulan kurungan. Sedangkan Mustary dihukum 6 tahun penjara dan denda Rp 800 juta subsider empat bulan kurungan.