Jakarta, Fusilatnews – Sabtu (20/9/2025) lalu, seorang pengemudi ojek online di Pontianak, Kalimantan Barat, diduga menjadi korban pemukulan yang dilakukan oleh seorang oknum anggota TNI, dan mengakibatkan korban mengalami luka fisik akibat insiden tersebut.
Selain itu, Selasa (16/9/2025) lalu, Polisi Militer Kodam Jayakarta mengungkap adanya dugaan keterlibatan dua oknum anggota TNI dalam kasus penculikan dan pembunuhan Kepala Cabang BRI Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Imparsial menyampaikan keprihatinan dan duka mendalam terhadap para korban dalam peristiwa di atas, sekaligus mengecam keras atas berulangnya peristiwa kekerasan yang melibatkan oknum anggota TNI.
“Kedua peristiwa tersebut menambah daftar panjang praktik kekerasan dan tindak pidana yang melibatkan prajurit TNI, yang tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang No 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI),” kata Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra di Jakarta, Senin (22/9/2025).
Dengan demikian, katanya, dugaan tindakan pemukulan terhadap warga sipil di Pontianak, serta keterlibatan oknum anggota TNI dalam pembunuhan Kepala Cabang BRI jelas merupakan penyimpangan dan pelanggaran terhadap mandat konstitusional TNI itu sendiri.
“Alih-alih melindungi warga negara, oknum TNI justru melakukan tindak kekerasan yang mengancam keselamatan warga negara, hingga melakukan tindak pidana pembunuhan,” sesalnya.
Ia memandang ada pola yang berulang terkait keterlibatan oknum TNI dalam tindak kekerasan dan kriminalitas. “Keberulangan ini jelas merupakan alarm serius yang menunjukkan masih lemahnya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas dalam tubuh TNI, serta belum tuntasnya agenda reformasi TNI,” tukasnya.
TNI, tegas dia, harus mengambil langkah konkret untuk menghentikan budaya kekerasan yang masih melibatkan anggotanya. “Setiap tindak pidana yang melibatkan anggota TNI harus diselesaikan hingga tuntas tanpa ada perlindungan institusional,” paparnya.
Keterlibatan anggota TNI dalam kasus tindak kekerasan dan kriminalitas, lanjut Ardi, kembali menegaskan betapa pentingnya revisi UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. “Aturan tersebut hingga kini masih memberikan kewenangan bagi Peradilan Militer untuk mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum. Sementara praktik ini berpotensi melanggengkan impunitas (kekebalan), karena proses peradilan militer cenderung tertutup, tidak transparan, dan tidak akuntabel bagi publik,” tuturnya.
Menurut Ardi, tidak boleh ada warga negara yang berada di atas hukum. “Oleh karena itu, anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum, seperti penganiayaan atau pembunuhan, seharusnya diadili melalui peradilan umum sebagaimana warga sipil,” pintanya.
Imparsial memandang, tanpa melanjutkan agenda reformasi TNI, termasuk merevisi UU Peradilan Militer, maka kasus-kasus yang melibatkan oknum anggota TNI akan terus berulang.
“TAP MPR No VII Tahun 2000 dan UU No 34 Tahun 2004 yang diubah dengan UU No 3 Tahun 2025 tentang TNI telah memandatkan agenda reformasi Peradilan Militer. Hal ini juga menegaskan bahwa tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI harus tunduk pada hukum yang berlaku bagi seluruh warga negara,” tegasnya.
Namun hingga kini, lanjut Ardi, implementasi mandat tersebut masih belum terlaksana karena belum direvisinya UU Peradilan Militer. “Hal ini akan terus membuka celah impunitas, karena anggota TNI yang melalukan tindak pidana umum masih sering diproses melalui Peradilan Militer yang cenderung tertutup dan tidak transparan,” ucapnya.
Berdasarkan hal tersebut, Imparsial mendesak, pertama, memproses anggota TNI yang terlibat dalam tindak pidana dan kekerasan melalui sistem Peradilan Umum, untuk menjamin keterbukaan, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak-hak korban.
Kedua, pemerintah dan DPR merevisi UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang mandek selama lebih dari 20 tahun.