Jakarta – Pencarian panjang Willy Abdullah Fujiwara (80) akhirnya membuahkan hasil. Setelah tiga bulan tinggal di asrama Tonan Asia Bunkyo Kyokai, Ikebukuro, sambil belajar bahasa Jepang di Universitas Takushoku Daigaku, suatu hari Willy diminta Katoh Sensei membantu di kantor untuk memfoto kopi dokumen. Kesempatan itu dimanfaatkan Willy untuk mengajukan pertanyaan yang sudah lama bergejolak dalam batinnya.
Pertanyaan pertama: mengapa dari 40 lebih anak keturunan Jepang-Indonesia yang hadir dalam wawancara di Jakarta, yang sudah lengkap dengan bukti foto dan surat-menyurat dengan ayah mereka di Jepang, hanya Willy yang diundang?
Katoh Sensei menjawab, karena sebagian besar masih menghadapi persoalan keluarga, terutama terkait persetujuan ibu tiri dan anak-anak mereka di Jepang. Ada kekhawatiran terkait permintaan harta warisan. Hal itu berbeda dengan Willy yang datang hanya untuk mencari ayahnya, tak ada niatan menuntut apa pun.
Pertanyaan kedua: Willy memohon agar Katoh Sensei menepati janjinya untuk membantu bertemu sang ayah. Katoh Sensei lalu menghadirkan wartawan Mainichi Shimbun agar kisah Willy dipublikasikan.
Dalam wawancara itu, Willy menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya, meski tak lagi memiliki bukti karena dokumen-dokumen yang pernah ia miliki habis terbakar saat perang tentara Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) versus Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Tiga hari setelah berita itu terbit, ibu tiri Willy membacanya di koran. Ingatannya langsung kembali ke masa awal pernikahannya, saat suaminya, Asajiro Fujiwara bercerita bahwa ketika pulang ke Jepang, ia meninggalkan seorang istri yang sedang mengandung di Indonesia.
Ibu tiri Willy pun menunjukkan koran yang memuat berita itu kepada Asajiro. Setelah direnungkan, akhirnya mengakui kebenaran cerita itu. Dengan memohon restu dan persetujuan keluarga, Asajiro kemudian menelepon Katoh Sensei untuk memastikan kebenaran kabar tersebut.
Sepulang dari kursus, Willy dipanggil Katoh Sensei. Ia diminta menjawab dengan jujur pertanyaan-pertanyaan sederhana: siapa itu Iye dan Sasung?
Willy sempat terkejut, mengira kabar duka datang dari kampung halamannya di Gogagoman, Kotamobagu, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Namun, Katoh Sensei menjelaskan bahwa pertanyaan itu berasal dari Kyoto dari ayahnya sendiri. Bila Willy mengenal nama-nama itu, berarti benar ia anak Asajiro Fujiwara.
Willy pun menjawab: Iye adalah saudara kembar ibunya, sementara Sasung adalah adik ibunya. Mendengar jawaban itu, Katoh Sensei langsung memeluk Willy. Ia berkata, “Kalau benar begitu, maka ayahmu sudah ditemukan.”
Kenangan Asajiro tentang Iye dan Sasung ternyata masih segar. Keduanya memang sering membantunya di Kotamobagu, terutama ketika ibunda Willy sedang hamil tua. Bagi Willy, semua ini bukan kebetulan. “Alhamdulillah, campur tangan Allah SWT membuat yang mustahil menjadi mungkin. Kalau saja hati ibu tiri saya tidak jujur, mungkin koran itu sudah dibuang ke tong sampah, dan cerita ini selesai begitu saja,” ucap Willy kepada Fusilatnews.com di kediamannya yang asri di kompleks perumahan Discovery Residences Klaster Fiore Blok H No 03 Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Ahad (28/9/2025).
Koran Mainichi Shimbun bahkan menempatkan kisah Willy di halaman depan dengan judul dramatis: Where is My Japanese Father?
Setelah ada kepastian itu, Asajiro Fujiwara bersama Katoh Sensei merencanakan pertemuan keluarga di Kyoto. Sebelum berangkat, Willy kembali diwawancara oleh Mainichi Shimbun. Ditanya apa yang akan ia tuntut setelah bertemu ayahnya, Willy menjawab mantap: sejak kecil saya berniat mencari ayah saya. Bila beliau sudah wafat, saya hanya ingin tahu makamnya. Bila masih hidup, saya tidak akan menuntut apa-apa. Cukup pengakuan. Apa pun yang diberikan adalah hadiah dari orangtua dan keluarga.
Jawaban itu disampaikan wartawan kepada Asajiro. Mendapat kabar itu, ia mempersilakan Willy datang ke Kyoto.
Dua hari kemudian, Willy dan Katoh Sensei naik kereta cepat Shinkansen menuju Kyoto. Setibanya di stasiun, Willy disambut langsung oleh sang ayah. Keduanya berpelukan erat, dan tangis pun pecah di antara keduanya, menandai pertemuan pertama setelah 25 tahun terpisah.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke rumah keluarga di kawasan Fushimi-ku, sekitar 15 menit dari stasiun. Rumah Asajiro bergaya tradisional Jepang, dengan pintu berlapis kertas dan lantai tatami. Maklum, sang ayah adalah ketua komunitas upacara minum teh, sementara keluarga Fujiwara masih cukup berpengaruh di Kyoto.
Sejak hari itu, Willy merasakan kehangatan keluarga barunya. Ibu tiri dan adik-adik tirinya menyambutnya dengan tulus. Mereka memahami bahwa Willy tidak datang untuk merebut harta warisan.
Hari-hari berikutnya terasa seperti bulan madu keluarga: adik-adik tirinya kerap mengajaknya berbelanja, makan, hingga membelikan pakaian-pakaian baru.
Willy bahkan ditawari untuk melanjutkan kuliah dengan biaya dari keluarga. Namun, dengan halus ia menolak. Baginya, janji awal tetap dipegang: tidak ingin merepotkan ayahnya yang sudah pensiun. Ia lebih memilih bekerja dan mandiri.
Setelah tiga bulan tinggal bersama keluarga sang ayah, Willy akhirnya pindah dan tinggal kembali di asrama. Tak lama kemudian, ia diterima “training” di perusahaan perakitan mobil terbesar di Jepang: Honda!
Willy ditempatkan di pabrik Honda di Wakoshi Saitama. Ia memulai proses dari awal, yakni produksi mesin. Karena kecakapannya, maka setiap tiga bulan ia bisa pindah bagian. Sampai kemudian Willy pindah ke bagian perakitan, dan kemudian pindah ke bagian “quality control.”
Alhasil, Asajiro Fujiwara yang sempat “hilang” selama 25 tahun akhirnya pulang. Bukan pulang dari Jepang ke Indonesia, melainkan pulang ke hati anak sulungnya: Willy Abdullah Fujiwara. (Bersambung)