Absurd, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan dinamika politik di Indonesia beberapa tahun belakangan. Salah satu contoh paling mencolok adalah kisah Jokowi dan Prabowo, dua tokoh besar yang pernah berseteru dengan sengit dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Kampanye keduanya dipenuhi retorika tajam, tudingan, hingga perpecahan di tengah masyarakat. Namun, usai tempur pada panggung Pilpres, pemandangan politik berubah drastis. Jokowi, yang telah terpilih kembali sebagai presiden, justru mengundang Prabowo, rival sengitnya, untuk bergabung dalam pemerintahannya sebagai Menteri Pertahanan.
Ini menjadi salah satu absurditas politik yang membingungkan. Bagaimana mungkin dua musuh bebuyutan yang saling menyerang secara ideologis dan personal, tiba-tiba menjadi rekan kerja di kabinet yang sama? Tentu saja, publik bertanya-tanya apakah perjuangan mereka sebelumnya sungguh-sungguh didasarkan pada perbedaan visi atau hanya bagian dari permainan politik.
Absurdnya politik ini tak berhenti pada Jokowi dan Prabowo. Cak Imin, Ketua Umum PKB, yang kini menjadi Menteri Koordinator di kabinet Prabowo, juga menunjukkan betapa dinamisnya rivalitas politik di Indonesia. Pada awal tahun 2024, Cak Imin dan Prabowo saling kritik dan bahkan mencoba menjegal satu sama lain dalam persaingan Pilpres 2024. Namun, situasi berubah drastis ketika Prabowo akhirnya terpilih, dan Cak Imin pun diundang untuk menjadi bagian dari pemerintahannya. Dalam hitungan bulan, musuh politik bisa menjadi kawan. Ini menggambarkan betapa cair dan pragmatisnya politik Indonesia—sebuah fenomena yang sering kali membingungkan rakyat biasa.
Fenomena serupa juga terjadi di tingkat partai politik. Dalam Pemilu Legislatif (Pileg), partai-partai bersaing sengit, saling serang dan kritik. Namun, ketika Pilpres tiba, mereka justru berkoalisi demi mencapai kekuasaan. Koalisi yang dibangun tanpa landasan ideologi yang kuat membuat publik sulit membedakan mana musuh, mana kawan. Ketika kepentingan pragmatis mengambil alih, pertarungan sengit di masa kampanye ternyata hanya sementara. PSI (Partai Solidaritas Indonesia), misalnya, pada tahun 2019 memberikan penghargaan “Kebohongan dan Terlebay Sepanjang Tahun” kepada Prabowo. Namun, di bawah kepemimpinan Raja Juan, sekjen PSI, partai ini kini justru berada di kabinet yang dipimpin Prabowo.
Kesadaran akan absurditas ini tidak hanya menggambarkan kegagalan para tokoh politik dalam menjaga konsistensi prinsip, tapi juga mencerminkan adanya masalah yang lebih mendalam dalam sistem politik kita. Salah satu akar dari situasi ini adalah aturan Presidential Threshold 20%, yang membuat partai-partai terpaksa berkoalisi demi memenuhi syarat pencalonan presiden. Aturan ini, pada dasarnya, merusak sistem demokrasi kita dengan memaksa partai-partai yang seharusnya bersaing ideologis untuk bersatu hanya demi mencapai syarat formal. Inilah yang menjadi cikal bakal absurdnya pola kehidupan politik di Indonesia. Perseteruan dan perdebatan panas di panggung kampanye sering kali hanya bersifat sementara, karena akhirnya para politisi harus merapat ke kekuasaan yang lebih besar.
Jika Prabowo serius ingin membawa perubahan di masa kepemimpinannya, salah satu PR besar yang harus segera dituntaskan adalah reformasi sistem politik yang menciptakan situasi absurd ini. Jika tidak, politik Indonesia akan terus dimanfaatkan oleh segelintir elite untuk meraih kekuasaan, tanpa memperhatikan aspirasi rakyat yang sebenarnya.
Sampai kapan kita akan terus terjebak dalam sirkus politik semacam ini? Pertanyaan ini harus terus kita tanyakan, agar absurditas dalam politik Indonesia bisa segera diakhiri, dan demokrasi yang sesungguhnya bisa ditegakkan.