Dalam sebuah acara pernikahan sahabat saya, ada momen yang begitu berkesan ketika saya melihat seorang tamu undangan istimewa, Jenderal (Purn) Try Sutrisno. Beliau, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pernah mendampingi Presiden Soeharto, tampak hadir tanpa ditemani istrinya. Meski berada di tengah keramaian tamu undangan, beliau terlihat menyendiri, seolah-olah keberadaannya menciptakan jarak dengan tamu lainnya yang mungkin merasa segan untuk mendekat.
Saya memutuskan untuk menghampirinya dan menyapanya langsung. Senyum hangat segera merekah di wajahnya saat saya berkata, “Pak, bapak ini Jenderal yang paling ganteng dan tampan.” Dengan tawa yang begitu lepas, beliau membalas, “Bisa saja….” Suatu momen penuh kehangatan dan candaan yang sederhana, namun sarat makna.
Namun, momen ini juga membawa saya merenungkan satu hal. Try Sutrisno bukanlah sosok sembarangan. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Presiden di era Presiden Soeharto, sebuah posisi yang kala itu hanya diperuntukkan bagi tokoh-tokoh yang sangat senior, terpandang, dan memiliki jejak panjang dalam pengabdian kepada bangsa. Di mata banyak orang, beliau adalah figur yang dihormati tidak hanya karena jabatannya, tetapi juga karena pengabdiannya kepada negara sebagai mantan Panglima TNI dan seorang negarawan.
Namun, ada sebuah insiden yang mengusik hati nurani saya dan mungkin banyak orang yang menyaksikannya. Dalam peringatan HUT TNI baru-baru ini, terjadi sebuah peristiwa yang sangat disayangkan terkait dengan adab dan etika seorang presiden. Saat itu, Presiden Joko Widodo tampak menyalami beberapa mantan wakil presiden yang hadir, seperti Jusuf Kalla (JK) dan Boediono. Namun, yang mengejutkan, Jokowi tidak menyalami Try Sutrisno yang berada di sebelah mereka.
Berdasarkan kesaksian yang tersebar, Pak Try sudah siap untuk berdiri menyambut salam Jokowi, tetapi Ibu Try, istrinya, melarangnya untuk berdiri. Seolah-olah, mereka telah memahami bahwa salam tersebut tak akan datang. Benar saja, Jokowi berlalu begitu saja, tanpa sedikit pun menoleh atau memberikan penghormatan kepada Pak Try. Ironisnya, momen salam ini pun bukan inisiatif murni Jokowi, melainkan didahului oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto, yang dengan penuh hormat menyalami para tokoh bangsa itu.
Pertanyaan yang timbul adalah: apakah sikap ini pantas? Bagaimana kita harus memandang tindakan seorang presiden yang tidak menunjukkan penghormatan kepada para pendahulunya, terlebih kepada seorang mantan wakil presiden yang juga seorang pahlawan nasional?
Adab adalah cerminan dari kualitas seseorang, terutama dalam posisi publik yang menuntut keteladanan seperti presiden. Dalam tradisi bangsa kita, menghormati yang lebih tua, terlebih lagi yang pernah berjasa besar bagi negara, adalah hal yang sangat dijunjung tinggi. Dalam konteks ini, sikap Jokowi yang mengabaikan Try Sutrisno bukan hanya sebuah tindakan yang menunjukkan kurangnya penghormatan, tetapi juga mencerminkan etika yang kurang elok sebagai pemimpin negara.
Kepantasan dalam bersikap, terutama terhadap tokoh senior bangsa, adalah salah satu bentuk penegasan bahwa seorang pemimpin tidak hanya dinilai dari keputusan politiknya, tetapi juga dari bagaimana ia berinteraksi dan memperlakukan orang lain, terutama mereka yang telah memberikan kontribusi besar bagi bangsa ini. Jokowi, sebagai presiden, semestinya menjadi teladan dalam hal ini. Mengabaikan figur seperti Try Sutrisno, yang telah berjuang demi negara, adalah sebuah tindakan yang menodai nilai-nilai kepemimpinan yang baik.
Bahkan, salam yang Jokowi berikan kepada para mantan wapres lain pun dilakukan seakan-akan terpaksa, hanya karena Prabowo melakukannya lebih dulu. Ini semakin mempertegas bahwa tindakan Jokowi tidak didasarkan pada adab yang sejati, melainkan lebih kepada formalitas yang terkesan dingin dan tanpa kehangatan.
Dalam dunia politik yang keras dan penuh intrik, sangat penting bagi seorang pemimpin untuk tetap menjaga nilai-nilai kebangsaan yang luhur, termasuk penghormatan kepada para tokoh yang telah berjasa. Dalam hal ini, Jokowi seharusnya menyadari bahwa posisinya sebagai presiden menuntut lebih dari sekadar menjalankan tugas pemerintahan. Ia juga dituntut untuk menjadi panutan dalam adab dan sikap hormat terhadap para pendahulu yang telah memberikan sumbangsih besar bagi bangsa.
Penutup dari refleksi ini adalah bahwa tindakan Jokowi yang tidak menyalami Try Sutrisno adalah sebuah kekhilafan yang tidak bisa dianggap sepele. Seorang pemimpin tidak boleh kehilangan sentuhan adab, karena dari sanalah keluhuran seorang pemimpin sesungguhnya terpancar. Dalam hal ini, sudah seharusnya Jokowi lebih peka dan bijak dalam bersikap, terutama kepada para mantan pemimpin yang pernah mengemban tanggung jawab besar bagi negara.