Istilah “100 hari kerja” sering kali menjadi sorotan publik saat seorang pejabat baru dilantik. Adagium ini telah menjadi semacam tolok ukur awal untuk menilai kinerja seorang pemimpin, baik itu Presiden, Gubernur, atau kepala daerah lainnya. Namun, jika ditelisik lebih dalam, adagium ini sering kali hanyalah alat pencitraan politik yang jauh dari kenyataan. Mengapa demikian? Hal ini berkaitan erat dengan sistem pengelolaan anggaran negara di Indonesia, yang menunjukkan bahwa klaim keberhasilan dalam 100 hari kerja lebih sering berbasis retorika daripada substansi.
APBN: Fondasi Kinerja Pemerintah
Di Indonesia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah dasar utama seorang pejabat publik bekerja. APBN disusun setiap tahun melalui proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak, mulai dari kementerian/lembaga hingga DPR. Penyusunan APBN untuk tahun berikutnya dimulai sejak awal tahun berjalan, dengan finalisasi pada Agustus. Artinya, APBN tahun 2025, misalnya, telah disusun dan disahkan pada Agustus 2024 oleh pemerintah sebelumnya.
Bagaimana mungkin seorang pejabat yang baru dilantik pada Oktober 2024, seperti Prabowo Subianto jika terpilih sebagai Presiden, dapat mengklaim program-program pada 100 hari pertamanya sebagai hasil kerjanya? Faktanya, seluruh alokasi anggaran yang menjadi dasar pelaksanaan program tersebut telah ditetapkan oleh rezim sebelumnya, yakni pemerintahan Jokowi. Hal yang sama berlaku di tingkat daerah, di mana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah disusun oleh gubernur atau kepala daerah sebelumnya.
Keterbatasan dalam Implementasi Program Baru
Ketika seorang pejabat baru mulai bekerja, mereka menghadapi kenyataan bahwa anggaran yang tersedia tidak mencerminkan visi dan misi yang mereka janjikan saat kampanye. Implementasi program baru yang benar-benar mencerminkan kepemimpinan mereka hanya dapat dimulai setelah anggaran tahun berikutnya disusun dengan masukan dari tim mereka sendiri. Dengan demikian, janji-janji dalam 100 hari pertama lebih sering merupakan upaya memanfaatkan program yang sudah berjalan atau sekadar pencitraan untuk menutupi ketidaksesuaian antara janji politik dan realitas anggaran.
Contoh Konkret: Gubernur Jakarta dan Presiden Baru
Contoh sederhana dapat dilihat dari posisi Gubernur Jakarta. Gubernur DKI Jakarta terpilih, Pramono Anung, berkomitmen untuk menyelesaikan berbagai permasalahan utama di Jakarta dalam 100 hari pertama masa jabatannya. Didampingi oleh wakilnya, Rano Karno, Pramono berjanji akan fokus menata kota dari akar rumput dengan turun langsung ke lapangan, meninjau lokasi-lokasi yang menjadi keluhan utama masyarakat, yang ia temui selama masa kampanye. “Saya betul-betul ingin menata Jakarta dari bawah dan itu akan saya lakukan, mudah-mudahan. Saya akan keliling lagi ke daerah-daerah yang memang pada waktu itu secara politik saya berjanji,” ujar Pramono saat ditemui di Kampus UIN Depok, Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok, Sabtu (11/1/2025).
Pertanyaannya adalah anggaran apa yang digunakan? APBD 2025 tahun berjalan Gubernur Pramono disusun oleh Pj Gubernu yang lalu. Begitu aturan UU nya.
Begitu pula di tingkat nasional. Seorang Presiden baru, seperti Prabowo jika dilantik pada Oktober 2024, tidak memiliki kendali atas APBN 2025 yang telah disusun oleh pemerintahan sebelumnya. Program-program besar yang membutuhkan anggaran signifikan, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau subsidi energi, tidak bisa langsung diwujudkan sesuai visi mereka tanpa adanya revisi atau pembahasan ulang yang memakan waktu.
100 Hari Kerja: Alat Pencitraan Politik
Adagium 100 hari kerja pada dasarnya adalah alat politik untuk menciptakan kesan awal yang positif di mata publik. Dengan memanfaatkan program-program yang sudah berjalan atau memberikan janji-janji yang bersifat jangka pendek, pejabat baru mencoba membangun citra sebagai pemimpin yang tanggap dan cepat bertindak. Padahal, tanpa adanya kontrol langsung terhadap anggaran, klaim keberhasilan ini lebih sering bersifat fiktif.
Selain itu, budaya politik yang menekankan pentingnya 100 hari kerja juga mengabaikan realitas bahwa perubahan yang signifikan membutuhkan waktu lebih lama. Reformasi sistemik, perbaikan birokrasi, dan pembangunan infrastruktur adalah proses yang membutuhkan perencanaan matang dan pelaksanaan yang berkelanjutan, jauh melampaui batas 100 hari.
Kesimpulan
Adagium 100 hari kerja sering kali menjadi kebohongan terselubung dalam sistem politik Indonesia. Dengan sistem penyusunan anggaran yang tidak memungkinkan implementasi program baru secara langsung, klaim keberhasilan dalam 100 hari pertama lebih tepat disebut sebagai pencitraan politik daripada cerminan kinerja nyata. Masyarakat perlu memahami bahwa penilaian terhadap seorang pemimpin tidak bisa didasarkan pada periode sesingkat itu, melainkan pada capaian nyata yang terlihat dalam jangka panjang. Oleh karena itu, penting bagi publik untuk tidak terjebak dalam retorika 100 hari kerja dan lebih kritis dalam menilai kepemimpinan berdasarkan fakta dan data yang objektif.