Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Jakarta – “This is not an end”. Ini bukan sebuah akhir. Demikian kata advokat senior Todung Mulya Lubis, Kuasa Hukum Hasto Kristiyanto, usai permohonan praperadilan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan itu tidak diterima oleh Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Djuyamto, Kamis (13/2/2025).
Gugatan Hasto dinilai kabur, karena menggabungkan dua gugatan sekaligus terkait status Hasto sebagai tersangka suap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2017-2022 Wahyu Setiawan, bersama buron Harun Masiku, dan sebagai tersangka “obstruction of justice” (perintangan penyidikan) kaburnya Harun Masiku.
Status Hasto sebagai tersangka pun tak tergoyahkan. Begitu diperiksa sebagai tersangka untuk kedua kalinya nanti, kemungkinan besar Hasto akan ditahan.
Todung Mulya Lubis menilai tak ada “legal reasioning” atau pertimbangan hukum yang rasional dalam putusan yang dibacakan Hakim Tunggal Djuyamto itu. Sebab itu, Kuasa Hukum Hasto lainnya, Maqdir Ismail membuka kemungkinan untuk mengajukan permohonan praperadilan lagi sambil mencari novum atau bukti baru.
Ah sudahlah, relakan Hasto dipenjara. Tak perlu mengajukan permohonan praperadilan lagi. Karena bukti-bukti yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku termohon sudah cukup kuat.
PDIP tak perlu mati-matian membela Hasto. Bahkan kalau perlu, ibarat anggota tubuh terkena kanker, harus diamputasi supaya kanker itu tak menyebar ke bagian tubuh lainnya.
Sebab, salah-salah PDIP bisa dianggap anti-pemberantasan korupsi. Sebab, apa yang dilakukan Hasto adalah urusan personal, bukan institusional. Jangan libatkan terlalu dalam PDIP sebagai institusi dalam urusan Hasto selaku pribadi. Dalam hal korupsi, semua “usdek’ (urusan dewek-dewek) atau urusan sendiri-sendiri.
Hasto pun tak perlu membawa-bawa nama besar Bung Karno dalam pembelaannya. Sebab kasusnya sangat berbeda. Bung Karno dipenjara di Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, karena melawan pemerintah kolonial Belanda demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Sebaliknya, Hasto terancam dipenjara karena kasus suap yang disangka dilakukan bersama Harun Masiku yang kabur sejak 8 Januari 2020 hingga kini. Hasto berjuang dengan menghalalkan segala cara demi Harun Masiku. Entah apa motifnya. Mungkin karena Harun Masiku dikenal sebagai orang dekat Hatta Ali, Ketua Mahkamah Agung (MA) saat itu.
Ketika ada seorang nahkoda cadangan melubangi lambung kapalnya sendiri, jangan biarkan. Turunkan dia di tengah laut dengan sekoci, atau bahkan kalau tidak mau buang ke laut saja, supaya kapal dan seisinya tak ikut tenggelam. Jangan sampai PDIP tersandera oleh Hasto.
Itu pertama. Kedua, sekjen sebuah partai politik dipenjara karena kasus korupsi bukan hanya monopoli Hasto. Sebelumnya sudah ada Rio Patrice Capella dan Jhonny G Plate, keduanya Sekjen Partai Nasdem, dan Idrus Marham, Sekjen Partai Golkar yang masuk penjara karena kasus korupsi.
Jangankan sekjen, Luthfi Hasan Ishaaq yang saat itu menjabat Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Setya Novanto yang saat itu menjabat Ketua Umum Partai Golkar, Anas Urbaningrum yang saat itu menjabat Ketua Umum Partai Demokrat, serta Suryadharna Ali dan M Romahurmuziy yang saat itu menjabat Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga masuk penjara gara-gara kasus korupsi.
Begitulah. Jabatan di parpol dan pemerintah atau di mana pun identik dengan kekuasaan. Dan kekuasaan itu cenderung korup. Lord Acton (1834-1902) beradagium, “The power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutly”.
Nah, Hasto pun tak kuasa menghindar dari jebakan kekuasaan yang cenderung korup itu. Hasto juga manusia biasa. Apalagi bekas anggota DPR itu adalah seorang politikus, di mana di dunia politik sering berlaku hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang menang. Atau yang oleh Thomas Hobbes (1588-1679) disebut sebagai “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi sesamanya).
Tapi, ya sudahlah. Kalau PDIP tak mau citranya makin babak belur, relakan saja Hasto dipenjara. Bahkan posisinya sebagai sekjen sudah waktunya untuk diganti. Jangan sampai kegiatan PDIP nanti terhambat ketika nanti sekjennya masuk penjara.
Bahkan PDIP perlu melakukan langkah antisipatif, jangan sampai kasus Hasto merembet ke kader-kader PDIP lainnya seperti bekas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly yang sudah pernah diperiksa KPK sebagai saksi kasus kaburnya Harun Masiku.
Pun perlu diantisipasi, jangan sampai kasus Hasto merembet ke Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, meskipun ketua umum parpol menjadi tersangka korupsi bukan sesuatu yang baru.
Adalah kerugian besar bagi PDIP ketika Hasto memperjuangkan orang-orang yang sesungguhnya tidak berhak untuk duduk di kursi empuk parlemen. Terutama Harun Masiku, dan juga Maria Lestari yang susah dua kali mangkir dari panggilan KPK untuk diperiksa sebagai saksi kasus Harun Masiku.
Jika Hasto tak ngotot memperjuangkan Harun Masiku, mungkin citra hukum PDIP tak akan seburuk ini. Sebab itu, jangan sampai citra hukum yang sudah buruk bertambah buruk ketika partai banteng ini membela mati-matian sekjennya. Sepak terjang Hasto tak sesakral perjuangan Bung Karno. Buktikan bahwa PDIP adalah partai anti-korupsi.