Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Jakarta – Inilah kacaunya Indonesia: pejabat merangkap penjahat, penguasa merangkap pengusaha. Formal atau informal. Resmi atau tak resmi. Akibatnya: terjadi konflik kepentingan!
Hal itu terjadi di semua cabang kekuasaan dalam Trias Politika, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Akibatnya: korupsi merajalela!
Jika kita cermati kasus-kasus korupsi kelas kakap di Indonesia, nyaris selalu melibatkan pejabat dan pengusaha. Pejabat yang merangkap penjahat, penguasa yang merangkap pengusaha.
Kasus-kasus korupsi kakap juga banyak terjadi di tahun-tahun dekat pemilu. Ada apa? Politik uang!
Sebut saja kasus korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) awal tahun 1999 yang merugikan keuangan negara hingga Rp135 triliun.
Kasus yang terjadi pada era Presiden BJ Habibie ini tak kunjung selesai hingga kini atau setelah 3 kali presiden berganti, mulai dari Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Joko Widodo, hingga Prabowo Subianto.
Lalu, kasus korupsi Bank Century tahun 2008 yang merugikan keuangan negara hingga Rp7,3 triliun.
Kemudian kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya tahun 2018 yang merugikan keuangan negara Rp16,8 triliun; dan kasus korupsi PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) tahun 2019 yang merugikan keuangan negara Rp23,7 triliun.
Pun kasus korupsi pengelolaan timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk tahun 2015-2022 yang merugikan keuangan negara hingga Rp300 triliun.
Dan ini yang paling dahsyat: korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Patra Niaga, anak usaha Pertamina, tahun 2018-2023 yang merugikan keuangan negara hingga nyaris Rp1.000 triliun atau Rp1 kuadriliun.
Kasus-kasus korupsi kelas kakap tersebut, sekali lagi, melibatkan pejabat yang merangkap penjahat, dan penguasa yang merangkap pengusaha.
Antiklimaks Kasus Pertamina
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan total sembilan orang tersangka kasus korupsi di PT Pertamina Patra Niaga. Sembilan orang tersangka itu terdiri dari enam pejabat BUMN tersebut dan tiga dari pihak swasta.
Mereka adalah Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; Sani Dinar Saifuddin, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping; dan Agus Purwono, Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina International.
Lalu, Muhammad Kerry Andrianto Riza, Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa; Dimas Werhaspati, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim: Gading Ramadhan Joedo, Komisaris PT Jengga Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak; Maya Kusmaya, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga; dan Edward Corne, VP Trading Produk Pertamina Patra Niaga.
Tersangka Kerry Andrianto adalah anak dari Raja Minyak Muhammad Riza Chalid yang namanya tak asing lagi di telinga publik karena sering disebut dalam kasus dugaan korupsi, termasuk kasus dugaan korupsi impor minyak Zatapi, dan kasus Papa Minta Saham.
Kejagung telah menggeledah rumah Riza Chalid di Jakarta. Kejagung juga membuka kemungkinan memeriksa Raja Minyak itu.
Dalam tayangan di akun TikTik yang menyebar di media sosial, ada nama menteri, saudara menteri, pejabat kepolisian, dan pengusaha yang namanya dikait-kaitkan dengan kasus Pertamina ini. Namun diyakini, pengusutan kasus ini akan antiklimaks dan mungkin akan berhenti hanya di sembilan tersangka tersebut. Sementara “God Fathers”-nya tak akan tersentuh. Mereka adalah “untouchable men”.
Apalagi, Jumat (28/2/2025) lalu, Menteri BUMN Erick Thohir tengah malam menemui Jaksa Agung St Burhanuddin. Disinyalir, pertemuan itu untuk melokalisir kasus Pertamina agar tidak merembet ke mana-mana.
Kasus Pertamina ini akan antiklimaks sebagaimana kasus pagar laut di Tangerang, Banten, yang hanya berpusar di Kepala Desa Kohod, Pakuhaji, Arsin bin Asip.
Diketahui, dalam Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto ada sejumlah pejabat yang berlatar pengusaha. Selain Erick Thohir, ada Luhut Pandjaitan yang menjabat Ketua Dewan Ekonomi Nasional; Maruarar Sirait, Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman; Rosan Roeslani, Menteri Investasi dan Hilirisasi; Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Perekonomian; Widyanti Putri, Menteri Pariwisata; dan Dudy Purwagandhi, Menteri Perhubungan.
Bahkan maraknya penguasa merangkap pengusaha bukan monopoli Prabowo, melainkan juga Jokowi. Jelas, mereka mengalami konflik kepentingan atau “conflict of interest”.