Namun, di sisi lain, keluhan juga datang dari para penghulu yang honorariumnya tertunggak. Meskipun angka pernikahan menurun, tanggung jawab penghulu tetap berjalan. Ironisnya, honorarium yang menjadi hak mereka sesuai peraturan, belum dibayarkan sejak Juni hingga Desember 2023.
Jakarta, Fusilatnews. – Angka pernikahan di Indonesia terus mengalami penurunan signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia 2024, pada tahun 2023 hanya tercatat 1.577.255 pernikahan, menurun sebanyak 128.093 dari tahun 2022 yang mencapai 1.705.348. Di Jawa Tengah, penurunan ini terlihat dengan berkurangnya 14.160 pernikahan sepanjang tahun 2023.
Di satu sisi, pergeseran paradigma dan tantangan finansial membuat banyak generasi muda memilih menunda atau menghindari pernikahan. Ara (27), seorang pekerja swasta di Semarang, mengatakan ia sengaja menunda pernikahan untuk fokus pada pengembangan diri. “Pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Jika kedua belah pihak belum siap secara finansial maupun mental, lebih baik ditunda,” ujarnya. Hal serupa diungkapkan Utami (29), yang melihat pernikahan bisa menghambat karir dan kebebasannya. “Pernikahan bisa menambah banyak beban dan tuntutan dari berbagai pihak, jadi saya memilih untuk tetap single dan bahagia,” tutur Utami.
Namun, di sisi lain, keluhan juga datang dari para penghulu yang honorariumnya tertunggak. Meskipun angka pernikahan menurun, tanggung jawab penghulu tetap berjalan. Ironisnya, honorarium yang menjadi hak mereka sesuai peraturan, belum dibayarkan sejak Juni hingga Desember 2023.
Para penghulu kini menghadapi situasi yang mengkhawatirkan karena hak mereka belum dibayarkan selama berbulan-bulan. Mereka merasa kecewa dengan kinerja Menteri Agama RI saat ini, yang dianggap menurunkan integritas institusi. “Ini bukan hanya soal uang honorarium dari biaya pernikahan sebesar Rp. 600.000, tetapi juga karena banyaknya anggota Banser yang tiba-tiba ikut naik haji tahun ini,” kata salah satu penghulu yang tidak ingin disebutkan namanya.
Farah (35) menyoroti tantangan lain seperti faktor keluarga dan kepercayaan yang bisa menghambat keputusan untuk menikah. “Kami terkendala beda agama, jadi kami memutuskan untuk tetap bersama tanpa menikah secara legal,” katanya. Menurutnya, standar pernikahan di Indonesia sering kali dibentuk oleh konstruksi sosial yang menimbulkan stereotipe di masyarakat.
Penurunan angka pernikahan ini menunjukkan adanya perubahan besar dalam pandangan generasi muda terhadap institusi pernikahan. Sementara beberapa memilih menunda atau menghindari pernikahan karena alasan pribadi dan profesional, yang lain menghadapi hambatan budaya dan agama. Fenomena ini menandakan bahwa keputusan untuk menikah semakin didasarkan pada preferensi individual dan kesiapan, baik secara emosional maupun finansial.
Di tengah perubahan ini, para penghulu yang tetap menjalankan tugasnya menghadapi paradoks karena belum menerima honorarium mereka selama berbulan-bulan, menggambarkan ketidakseimbangan dalam sistem yang ada.