Oleh: Entang Sastreatmadja-Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat
Masalah perberasan nasional rupanya tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengejar swasembada dan meningkatkan produksi setinggi-tingginya. Sebab, kenyataannya, harga beras di pasar justru merangkak naik meskipun panen melimpah. Ini tentu menimbulkan kegelisahan, baik di tingkat konsumen maupun pengambil kebijakan.
Secara teori, jika pasokan melimpah, maka harga seharusnya turun. Namun hukum ekonomi konvensional itu tampaknya lumpuh saat berhadapan dengan realitas distribusi dan tata niaga pangan kita. Menteri Pertanian Amran Sulaiman pun menuding bahwa biang keladi dari kekacauan harga ini adalah para middleman, alias pedagang perantara, yang memainkan harga seenaknya.
Fenomena ini semestinya bisa diantisipasi. Sudah menjadi rahasia umum, dalam setiap momentum surplus produksi, selalu ada pihak yang mencoba memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi. Apalagi ketika pemerintah masih larut dalam euforia keberhasilan penyerapan gabah—ruang terbuka lebar bagi mafia pangan untuk bermain.
Sayangnya, respons pemerintah kerap kali tidak sepadan. Ketika harga beras melonjak, yang dilakukan adalah langkah instan: mengguyur pasar dengan 360 ribu ton beras bansos untuk 18,3 juta keluarga penerima manfaat dengan anggaran mencapai Rp4,9 triliun. Ada yang optimistis, kebijakan ini akan menekan harga pasar. Namun, langkah ini sejatinya bersifat reaktif, bukan solutif.
Pemerintah mengklaim bahwa pemberian bansos tidak akan mengganggu stok nasional. Bahkan disebutkan bahwa pada bulan Juli, masih ada potensi penyerapan gabah sebesar 400 ribu ton. Sementara itu, ekspor beras ke Malaysia tetap berjalan sebesar 2 ribu ton per bulan, atau 24 ribu ton per tahun.
Namun, apakah bansos dan ekspor dapat berjalan beriringan tanpa menimbulkan masalah? Inilah titik krusial yang harus dicermati. Setidaknya ada empat hal penting yang harus dijaga:
Ketersediaan Beras Nasional
Ekspor hanya bisa dilakukan jika kebutuhan domestik telah sepenuhnya terpenuhi. Prioritas utama haruslah terpenuhinya pangan rakyat, khususnya mereka yang miskin dan rentan.Efektivitas Program Bansos
Program bantuan pangan harus tepat sasaran, bukan sekadar pencitraan politik atau intervensi pasar sesaat. Distribusi bansos harus transparan, terukur, dan menyasar mereka yang benar-benar membutuhkan.Stabilitas Harga Gabah Petani
Petani adalah produsen utama, namun mereka sering kali menjadi pihak paling merugi. Harga gabah harus dijamin adil. Jika tidak, ekspor justru memperlebar jurang ketimpangan.Pengawasan Tata Niaga dan Ekspor
Negara tidak boleh lepas kendali. Pengawasan ketat harus dilakukan terhadap eksportir dan pelaku pasar. Jangan sampai stok habis, harga melonjak, dan rakyat menjerit, sementara segelintir orang menangguk untung.
Jika produksi benar-benar melimpah, tentu ekspor dan bansos bisa berjalan berdampingan. Namun masalah akan muncul jika data yang digunakan tidak akurat dan stok tak mencukupi. Maka, ketepatan data menjadi fondasi utama dalam pengambilan keputusan strategis pangan.
Beras adalah komoditas politik. Ia bukan sekadar soal perut rakyat, tapi juga harga diri bangsa. Maka, jangan sampai pengelolaan beras menjadi lahan spekulasi yang merugikan rakyat kecil dan petani yang seharusnya kita lindungi.