
Oleh : M Yamin Nasution, S.H – Pemerhati Hukum
Di tengah transisi pemerintahan menuju era Prabowo Subianto, warisan kebijakan agraria Presiden Joko Widodo meninggalkan jejak yang belum banyak diperdebatkan Sarjana Hukum: pemberian sertifikat dan legalisasi pemanfaatan laut dalam skema mirip Hak Guna Usaha (HGU). Melalui turunan Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Laut, negara membuka ruang bagi korporasi untuk mengajukan izin pemanfaatan ruang laut secara eksklusif—dengan logika dan durasi yang menyerupai konsesi tanah. Dalam diam, laut kini mulai dipetak-petak, didaftarkan, bahkan dikuasai.
Pertanyaannya adalah, untuk siapa warisan ini disiapkan?
Pintu masuk legalisasi ruang laut dimulai dari pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi UU. Dalam beleid ini, terdapat ketentuan mengenai penguasaan ruang laut oleh pelaku usaha melalui izin pemanfaatan, yang diperkuat lewat turunan aturan seperti:
Omnibus Law dan Turunannya merusak lehidupan Laut turun temurun
Jakarta, 8 Juni 2025. Sejak disahkan Undang‑Undang Cipta Kerja (UU No. 11/2020, diperbarui dengan UU No. 6/2023), sejumlah turunan regulasi menjabarkan peluang penerbitan sertifikat di area laut. Berikut pemetaan pasal demi pasal dan pejabat yang mengeluarkan aturan tersebut.
- Pasal 5 ayat (2) UU No. 11/2020 UU No. 6/2023
Memberi Presiden wewenang membuat Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan UU Cipta Kerja.
Pasal 14, 18, dan 125–129
Menjabarkan perubahan terhadap UU Agraria (UUPA), membuka jalan untuk pemberian hak atas tanah termasuk di wilayah perairan. Khususnya.
Pasal 127
Mengizinkan HGB/Hak Atas Tanah diberikan di atas tanah negara atau pengelolaan, termasuk di laut.
Pasal 196–199
Memberi kewenangan kepada Menteri ATR/BPN menerbitkan hak atas pulau kecil dan wilayah perairan jika disertai rekomendasi atau turun-temurun (20 tahun) .
- PP No. 18 Tahun 2021 diteken Presiden Joko Widodo, tanggal 2 Februari 2021
Pasal 1 (1–4), mendefinisikan “tanah” mencakup permukaan dan kolom air.
Pasal 100, memberikan diskresi kepada Menteri jika aturan di lapangan dinilai tidak selaras.
Pasal 195–199: mengatur ketentuan khusus untuk pulau kecil dan wilayah perairan, termasuk syarat penerbitan hak setelah rekomendasi KKPRL atau bukti penguasaan turun‑temurun (Menteri Kumham Yasona L)
- Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2021 (Menteri ATR/BPN – Sofyan A. Djalil, 29 April 2021; berlaku 27 Oktober 2021)
Pasal 1–2, menetapkan bahwa penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah di wilayah perairan dilakukan oleh Menteri, atau yang didelegasikan.
Pasal 23, seluruh permohonan harus dilengkapi dokumen perencanaan tata ruang—termasuk perairan.
Pasal 191, ketentuan teknis pendidikan dan pendaftaran tanah reklamasi berlaku mutatis mutandis.
Menjadi dasar teknis untuk mengeksekusi mandat Pasal 127–199 UU Cipta Kerja.
- PP No. 27 Tahun 2021 (Presiden Joko Widodo; diteken awal 2021).
Pasal I–II, mengatur kriteria bangunan dan instalasi di laut, mencakup izin pendirian serta penempatan di zona konservasi maupun perikanan.
Mencabut PP No. 6/2020. Dasar normatif untuk identifikasi lokasi fisik laut yang kelak akan disertifikasi tanahnya.
- Permen KP No. 28/2021 & No. 30/2021 (Menteri Kelautan & Perikanan – Sakti Wahyu Trenggono; PLT Dirjen: Hendra Yusran Siry).
Permen 28/2021, menetapkan definisi dan syarat KKPRL (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut), wajib dimiliki sebelum melakukan kegiatan reklamasi/investasi laut.
Permen 30/2021: menetapkan mekanisme pengawasan dan pelaporan kegiatan laut, memperkuat kontrol KKPRL secara administratif.
Aturan Pasal Kunci
UU Cipta Kerja Pasal 127– Pasal 199 Legalitas HGB/Hak di laut wilayah perairan/pulau kecil DPR & Presiden
PP 18/2021 Pasal 195– Pasal 199 Rincian HGB di wilayah perairan & diskresi Menteri, Presiden Jokowi
Permen ATR 18/2021 Pasal 1– Pasal 23 dan Pasal 191– Pasal 204 Prosedur teknis, dokumen & pendaftaran hak laut Menteri ATR/BPN Sofyan A. Djalil
PP 27/2021 Pasal I dan Pasal II, Kriteria bangunan laut, penempatan & izin Presiden Jokowi
Permen KP 28/2021 Pasal 1 Ayat (10), kesesuaian KKPRL untuk perizinan laut, Menteri Kelautan & Perikanan Sakti Wahyu Trenggono
Permen Menteri Kelautan & Perikanan 30/2021 Pengawasan & pelaporan Pengawasan implementasi KKPRL Menteri Kelautan & Perikanan Sakti Wahyu Trenggono
Relevansi dan Catatan
Aturan-aturan tersebut membuka jalan legal bagi penerbitan sertifikat hak atas tanah di laut. Namun, format teknis (Permen ATR & PP) masih menyediakan diskresi dan tumpang-tindih, terutama antara izin KKPRL (KKP) dan sertifikasi BPN. Ini memperbesar risiko penetapan tanah “di atas laut”—terutama pulau reklamasi—yang dapat multitafsir atau tumpang tindih izin hukum.
Kesimpulan & Penutup
Perpres 32/2023 menyatakan bahwa ruang laut dapat direncanakan, dipetakan, dan diberikan izin pemanfaatan melalui sistem Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Dalam praktiknya, KKPRL kini mulai dimaknai sebagai bentuk konsesi jangka panjang atas laut yang dapat dimiliki oleh korporasi, dengan proses pendaftaran yang menyerupai mekanisme pemberian HGU di darat.
Ironisnya, istilah “HGU Laut” tidak pernah disebut secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, tetapi berkembang dalam praktik administratif oleh Kementerian ATR/BPN. Hal ini menimbulkan multitafsir dan celah hukum.
Pada 2022–2024, beberapa wilayah pesisir di Indonesia mulai menyaksikan proses pendaftaran batas ruang laut sebagai bagian dari digitalisasi bidang tanah. Dalam dokumen-dokumen internal yang beredar di kalangan pejabat daerah, istilah seperti “pemetaan batas bidang laut,” “legalisasi pemanfaatan laut,” hingga “KKPRL untuk zona usaha kelautan” mulai dipakai dengan longgar.
Proses ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah laut kini diperlakukan layaknya daratan, dan karena itu bisa disertifikasi dan dimiliki secara eksklusif? Jika iya, maka pasal-pasal dalam UU Pokok Agraria dan UU Kelautan menjadi kabur batasnya. Sementara nelayan dan komunitas pesisir tidak memiliki akses terhadap proses administratif yang rumit ini, korporasi besar justru memperoleh jalur cepat melalui investasi strategis nasional.
Di berbagai lokasi seperti Maluku, Kalimantan Utara, dan pesisir selatan Jawa, konflik antara nelayan tradisional dan pengusaha mulai mencuat. Wilayah tangkap nelayan disebut telah masuk dalam “wilayah berizin KKPRL” milik perusahaan tambak, budidaya offshore, atau bahkan proyek wisata laut eksklusif.
Penduduk lokal yang selama puluhan tahun menggantungkan hidup pada laut kini harus menghadapi ancaman kriminalisasi dengan tuduhan “mengganggu aktivitas berizin.” Tidak ada skema afirmatif atau redistribusi untuk komunitas pesisir dalam kebijakan sertifikasi laut ini.
Proses ini juga tak bisa dilepaskan dari desain politik ekonomi pasca-2020. Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan Bank Tanah yang dirancang di bawah komando Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil dan diteruskan oleh Hadi Tjahjanto, memperluas cakupan registrasi hingga ke zona laut. Di saat bersamaan, UU Cipta Kerja membuka ruang bagi “kemudahan perizinan berusaha” di semua sektor, termasuk kelautan.
Dengan legitimasi hukum ini, proyek-proyek nasional maupun swasta yang terafiliasi dengan kepentingan elite politik dan pengusaha besar kini memiliki dasar untuk menguasai laut secara sah. Laut menjadi komoditas baru dalam peta balas budi politik dan akumulasi kapital.
Warisan ini meninggalkan pertanyaan besar bagi generasi pemerintahan berikutnya: apakah laut akan tetap menjadi ruang hidup bersama, atau berubah menjadi aset yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang punya koneksi dan modal?
Jika laut telah dijadikan ladang sertifikasi, maka kita sedang menyaksikan penggeseran paradigma agraria ke arah “maritim feodalisme”, di mana ruang laut dikapling, disertifikasi, dan diwariskan layaknya perkebunan kolonial masa silam. Apakah ini yang dimaksud Presiden Jokowi dengan “poros maritim dunia”?