Fusilatnews – Di negeri yang menepuk dada karena konstitusi dianggap sakral dan hukum disebut panglima, rancangan undang-undang kerap menjelma jadi jebakan. RUU Perampasan Aset, yang semestinya menjadi instrumen pemberantasan korupsi, kini justru menganga sebagai potensi pelanggaran hak konstitusional warga negara. Anggota Badan Legislasi DPR, Ahmad Irawan, tak menutup-nutupi: “Wartawan pun bisa kena. Rumah di Permata Hijau bisa disita tanpa pengadilan.” Apa ini reformasi hukum, atau deformasi logika keadilan?
Kita patut cemas. Sebab RUU ini membuka pintu selebar-lebarnya bagi negara untuk mengambil—bukan lewat pembuktian hukum yang pasti, melainkan asumsi yang dianggap sah. Bayangkan: harta warga negara bisa dirampas tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Ini bukan lagi supremasi hukum, tapi supremasi dugaan. Dalam sistem hukum modern, pembuktian adalah tiang pancang keadilan. Bila ia dicabut, seluruh bangunan hukum akan ambruk menjadi aparatus kekuasaan yang menakutkan.
Ironisnya, undang-undang semacam ini lahir dalam semangat “memerangi korupsi”. Dalih yang tampak mulia, tapi eksekusinya cacat. Di sinilah persoalan mendasarnya: betapa rendahnya kualitas produk hukum kita bila motifnya tergesa-gesa, penyusunannya sembrono, dan partisipasi publiknya nihil.
RUU Perampasan Aset seolah hanya menampilkan semangat pemberantasan kejahatan ekonomi, tapi tanpa nalar hukum yang utuh. Politik hukum berubah jadi politik ketakutan. Ketika Presiden Prabowo dengan lantang menyatakan dukungan terhadap RUU ini, kita tentu mencatat komitmen simbolik terhadap perang melawan korupsi. Namun, yang dibutuhkan bukanlah pekik populis, melainkan desain hukum yang cermat, transparan, dan bisa diuji oleh akal sehat publik.
Masalahnya bukan pada niat. Kita tak kekurangan retorika tentang integritas dan akuntabilitas. Yang langka adalah produk hukum yang lahir dari kehati-hatian epistemik. Bila DPR dan pemerintah menyusun undang-undang hanya dengan semangat mengebiri kejahatan tapi tak memproteksi hak warga, itu bukan hukum—itu ancaman.
Karena itu, seperti disarankan Irawan, perlu ada keterlibatan lebih banyak pihak independen, terutama dari perguruan tinggi, akademisi, dan lembaga profesi hukum. Produk hukum yang sehat lahir dari nalar kolektif yang disiplin, bukan dari ego politik atau tekanan opini publik sesaat. Hukum yang baik adalah hukum yang kuat karena substansinya, bukan karena kuasa siapa yang mengesahkannya.
Negara hukum tak boleh memberi kuasa mutlak kepada aparat untuk menyita tanpa pengadilan. Jika kita membiarkan pasal-pasal dengan semangat “perampasan dulu, pembuktian kemudian”, maka kita sedang membuka gerbang menuju otoritarianisme legal. Inilah bahaya ketika hukum dijadikan alat penertiban, bukan pencari keadilan.
Dalam sejarah hukum, tak sedikit rezim otoriter membungkus kekuasaannya lewat legalitas. Jangan sampai Indonesia mengulangi tragedi yang sama dalam bentuk yang lebih canggih—dengan dalih memberantas korupsi, tapi sebenarnya menebar ketakutan dan membuka celah abuse of power.
Kita ingin hukum yang berpihak pada keadilan, bukan pada kebisingan politisi atau heroisme pejabat. Kita butuh RUU Perampasan Aset yang kokoh secara konstitusional, taat pada proses pembuktian, dan berpihak pada perlindungan hak asasi. Jika tidak, hukum berubah menjadi alat represif yang justru menghancurkan demokrasi dari dalam.
Ahmad Irawan benar. Jangan buru-buru sahkan. Sebab sekali ia diundangkan, koreksinya akan lebih rumit, mahal, dan memakan korban. Seperti biasa: rakyat kecil yang akan paling menderita.
Dan ketika hukum gagal karena nafsu politis dan kelemahan nalar, maka yang tersisa hanyalah kekuasaan yang tak terkendali—dan sejarah akan mencatatnya sebagai aib konstitusional.