Jakarta-Fusiltanews – Kasus pagar laut ilegal di perairan Tangerang, Banten, telah menyeret perhatian publik karena kompleksitasnya, yang melibatkan dugaan pelanggaran administratif, hukum pidana, hingga kemungkinan keterlibatan konglomerat besar. Pernyataan dari berbagai pihak terkait, seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, penggugat dari Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), hingga mantan Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono, menunjukkan kebingungan dan lemahnya koordinasi penanganan perkara ini.
1. Fragmentasi Kewenangan: Problematika Penegakan Hukum
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menyatakan bahwa kementeriannya hanya memiliki kewenangan pada pelanggaran administratif. Ia menyerahkan dugaan pelanggaran hukum pidana kepada pihak kepolisian. Namun, hal ini justru memperlihatkan celah dalam sistem birokrasi penegakan hukum. Kementerian sebagai pemegang otoritas atas wilayah kelautan terlihat seperti “mencuci tangan” terhadap persoalan yang lebih besar.
Sakti juga menyebut bahwa langkah penyelidikan telah dilakukan, tetapi hasilnya belum memenuhi unsur pidana. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas kementerian dalam mendeteksi pelanggaran hukum, terutama ketika bukti-bukti awal, seperti sertifikat hak guna bangunan (HGB) di atas wilayah pesisir, telah mengindikasikan adanya kejanggalan serius.
2. LP3HI: Menggugat Ketidakadilan
LP3HI mengambil langkah drastis dengan mengajukan praperadilan terhadap Kementerian Kelautan dan Perikanan. Gugatan ini menyoroti lambatnya proses penetapan tersangka, yang dianggap menciptakan peluang bagi pelaku untuk menghilangkan barang bukti atau melarikan diri. Gugatan ini juga menggambarkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam menegakkan hukum secara adil dan transparan.
Langkah ini seharusnya menjadi pengingat bagi pemerintah untuk mempercepat proses hukum. Jika tidak, kasus ini berpotensi menjadi preseden buruk yang merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara.
3. Dugaan Keterlibatan Konglomerat
Dalam kasus ini, muncul dugaan keterlibatan kelompok konglomerat, termasuk nama besar seperti Anggun Aguan. Walaupun Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai mantan Menteri ATR/BPN, menyatakan belum mendapatkan laporan resmi terkait sertifikasi HGB di luar garis pantai, pernyataan ini memperlihatkan lemahnya pengawasan dan kontrol saat ia menjabat.
Jika benar ada konglomerat yang memanfaatkan celah hukum untuk mendapatkan keuntungan pribadi, ini mencerminkan bagaimana hukum sering kali tunduk kepada kekuatan modal. Di sisi lain, pemerintah harus memastikan bahwa hukum ditegakkan secara tegas, tanpa pandang bulu.
4. Menggugat Akuntabilitas dan Transparansi
Kasus ini adalah gambaran ketidakpastian penegakan hukum di Indonesia. Fragmentasi kewenangan, lambannya penyidikan, hingga potensi pengaruh oligarki adalah akar masalah yang harus segera ditangani. Pemerintah, baik melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan maupun ATR/BPN, perlu menunjukkan transparansi dan komitmen untuk menyelesaikan kasus ini secara tuntas.
Selain itu, sinergi antar-lembaga harus diperkuat agar penanganan kasus tidak hanya menjadi ajang lempar tanggung jawab. Jika tidak, publik akan terus mempertanyakan keberpihakan pemerintah—apakah kepada rakyat atau kepada kepentingan segelintir elite ekonomi.
5. Kesimpulan
Kasus pagar laut ilegal di Tangerang bukan sekadar persoalan administratif atau hukum pidana biasa. Ini adalah ujian bagi negara dalam menunjukkan keberpihakan kepada keadilan dan supremasi hukum. Masyarakat menunggu, dan harapan mereka sederhana: kejelasan, keadilan, dan langkah nyata dalam menyelesaikan kasus ini. Jika pemerintah gagal merespons dengan tegas, maka kasus ini tidak hanya akan menjadi noda bagi reputasi lembaga negara, tetapi juga menguatkan persepsi bahwa hukum di negeri ini hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.