Dalam beberapa bulan terakhir, dinamika hukum di Indonesia menghadirkan polemik yang menarik perhatian publik. Isu besar seperti makar, kepemimpinan Kapolri, dan peran penyidik sipil menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Setiap pihak tampaknya memiliki pandangan yang sahih, namun ketika hukum bertabrakan dengan kepentingan politik dan birokrasi, bahaya besar mengancam tata kelola negara.
Bahaya Makar dan Ranah Hukum
Makar merupakan delik yang tak hanya melibatkan aspek hukum, tetapi juga menyentuh ranah politik dan keamanan negara. Dalam hukum pidana Indonesia, makar bukan sekadar perkara teknis penyidikan, tetapi menjadi ranah sensitif yang membutuhkan penanganan serius oleh Polri. TNI AL, yang berupaya memulai “itikad baik” dengan mencabut pagar laut yang telah memicu keresahan masyarakat, menunjukkan langkah proaktif untuk mencegah konflik yang lebih besar. Langkah ini sekaligus menyoroti lemahnya respons Kapolri Listyo Sigit Prabowo dalam menangani situasi tersebut.
Sikap “diam” Kapolri, meski Presiden telah memberikan perintah tegas untuk mencabut pagar laut, memunculkan persepsi negatif di masyarakat. Tuduhan bahwa Kapolri melindungi atau memproteksi para pelaku pemagaran laut menjadi sorotan. Polri sebagai penyidik utama dalam kasus ini tampak tertinggal informasi dibandingkan dengan menteri terkait, sehingga menimbulkan keraguan publik terhadap kinerja lembaga tersebut.
Penyidik Sipil dan Polemik Pradilan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS), berdasarkan asas hukum, memang memiliki kewenangan untuk melakukan tugas-tugas penyidikan. Namun, koordinasi yang buruk antara penyidik sipil dan Polri seringkali menjadi penyebab konflik yang berujung pada praperadilan. Sebagai contoh, kasus yang melibatkan Ahok terkait razia bus oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta tanpa koordinasi dengan Polri menunjukkan celah besar dalam pelaksanaan hukum. KUHAP, yang menjadi pedoman penyidikan, membuka ruang bagi pihak yang merasa dirugikan untuk menggugat legalitas tindakan penyidik.
Desakan Reformasi Kepemimpinan Polri
Kritik terhadap Kapolri Listyo Sigit Prabowo juga menyasar pada dugaan keberpihakan berlebihan kepada Presiden Jokowi, yang dalam istilah satir disebut sebagai “Jo Owie.” Hal ini memunculkan pertanyaan tentang netralitas Polri sebagai lembaga penegak hukum negara. Kapolri yang seharusnya menjadi simbol presisi dan ketaatan terhadap hukum dinilai justru memperlihatkan disfungsi dalam tugasnya.
Desakan untuk mengganti Kapolri dengan Wakapolri adalah cerminan keresahan publik atas kinerja Polri. Tidak cukup hanya sekadar jargon “Presisi” yang digaungkan, Polri harus menunjukkan bahwa mereka mampu menjalankan tugas dengan profesionalisme tanpa intervensi politik atau konflik kepentingan.
Mengembalikan Integritas Hukum
Bahaya besar dari situasi ini adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Ketika hukum menjadi kabur (obscure) akibat tarik-menarik kepentingan, stabilitas negara berada di ujung tanduk. Kasus makar, meski memicu perdebatan, seharusnya menjadi momen untuk menegaskan kembali pentingnya supremasi hukum. Polri, sebagai garda depan penegakan hukum, harus mampu mengembalikan kepercayaan tersebut.
Kesimpulan
Polemik hukum, penyidikan, dan kepemimpinan di tubuh Polri menunjukkan bahwa reformasi struktural dan kultural menjadi kebutuhan mendesak. Ketika TNI AL mengambil langkah proaktif sementara Kapolri tampak pasif, hal ini mencerminkan ketimpangan dalam penegakan hukum. Kapolri harus lebih dari sekadar pemimpin birokrasi; ia harus menjadi penjaga independensi hukum. Sebagai rakyat, kita berhak mendesak perubahan, karena penegakan hukum yang lemah tidak hanya merugikan individu, tetapi juga membahayakan masa depan bangsa.