Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, Fusilatnews – Banten lagi-lagi masuk ke dalam salah satu provinsi dengan tingkat kerawanan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pemilu.
“Tentu ini beririsan dengan proses kontestasi Pemilihan Gubernur Provinsi Banten saat ini di mana kedua calon berpotensi menggerakkan ASN demi kemenangan masing-masing. Oleh sebab itu perlu ada kekuatan masyarakat sipil untuk bersama mengawasi hal ini,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan Abdul Hamim Jauzie kepada Fusilatnews.com, Kamis (26/9/2024).
Menurut Hamim, sejarah mencatat ASN pernah menjadi alat politik kekuasaan dan ini terjadi dalam kurun waktu lama. “Dalam sejarahnya, pemerintahan Orde Baru secara terbuka melakukan kooptasi dan mobilisasi politik yang antara lain diterapkan lewat tangan-tangan birokrasi,” cetusnya.
“Kooptasi ini juga menunjukkan ada kecenderungan terjadi proses mobilisasi politik. Rezim pada saat itu menggunakan organisasi yang mewadahi pegawai departemen dan pemerintah daerah untuk mendukung salah satu partai (monoloyalitas) yang pada saat itu berkuasa. Hampir seluruh organisasi buatan Orde Baru mulai dari level desa, pemuda, guru sampai organisasi sekolah diarahkan ke dalam satu partai. Pada tahapan ini intervensi secara langsung didapatkan jika menolak atau mencoba untuk tidak taat,” lanjutnya.
Hamim menilai, ketidaknetralan ASN terlihat jelas dalam Pilkada 2023, di mana ada mobilisasi ASN, namun dugaan adanya pengondisian baik itu penyelenggara pemilu maupun aparat penegak hukum membuat kasus menjadi bias, tidak pernah ada yang benar-benar mendapatkan sanksi.
“Tidak dipungkiri tekanan kepada ASN dalam setiap pemilu begitu besar, di mana jabatannya menjadi taruhan pada setiap momentum kontestasi politik. Ini bukan tanpa alasan. Faktanya kepala daerah diberikan kewenangan untuk memilih, menetapkan dan mengganti pejabat struktural yang akan membantunya dalam pemerintahan, serta hal tersebut didukung dengan aturan yang sah seperti pada UU ASN Pasal 53 yang menjelaskan tentang kewenangan pembinaan manajemen ASN oleh kepala daerah,” paparnya.
Puncaknya, kata Hamim, adalah perombakan di lingkungan jabatan struktural ketika kepala daerah baru terpilih. permasalahan ini, katanya, menjadi semakin pelik ketika perombakan dilakukan tidak didasarkan pada kompetensi/kinerja, tetapi lebih menekankan pada kedekatan politik.
“Padahal jika pemimpin berhasil menciptakan iklim etis dalam dinas sipil, hal itu memberikan pengaruh positif terhadap kinerja suatu organisasi. Akhirnya ASN lebih berorientasi membangun kedekatan politik dengan penguasa daripada membangun kompetensi dan kinerja untuk menjamin kariernya. Tekanan dari para pemegang kekuasaan masih ada dalam bentuk tawaran jabatan, demosi dan juga mutasi dari para calon yang maju dalam pilkada,” tukasnya.
“Tekanan ini sering terjadi dalam kasus pilkada karena ‘mindset’ (pola pikir) ASN yang takut. Jika tidak memenuhi tekanan politik itu, karir dia akan terhambat atau bahkan berhenti. Tentu hal tersebut bukan menjadi satu alasan untuk membenarkan ketidaknetralan ASN pada setiap pemilu. Sebab ASN terikat aturan sebagai konsekuensi atas pilihan dan jabatan, karena seperti yang termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 di mana aturan ini mengatur segala hal mengenai ASN agar memiliki integritas, profesionalitas, netralitas dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat, serta mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Lalu apa kaitannya dengan netralitas? Dijelaskan bahwa beberapa hukuman akan dijatuhkan bagi para pelanggar netralitas ASN. Hukuman tersebut disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010. Hukumannya bisa dalam bentuk disiplin berat, sedang, atau ringan tergantung hasil pemeriksaan,” urainya.
Melihat beberapa data terkait kasus ketidaknetralan ASN, Hamim berpendapat yang mesti digarisbawahi adalah sikap ketidakberpihakan, yang dimaknai sebagai perilaku adil, objektif, tidak bias, bebas pengaruh, bebas intervensi, bebas dari konflik kepentingan, dan tidak berpihak pada siapa pun. Sebagai pihak yang memberikan pelayanan publik, ASN yang ditugaskan melayani masyarakat secara profesional, dituntut bersikap netral dalam pelaksanaan pemilu, karena sejarah panjang pada era Orde Baru ASN menjadi alat politik dengan kewajiban mendukung partai politik tertentu. Namun pasca-runtuhnya Orde Baru dan masuk ke era reformasi saat ini, justru ASN diarahkan oleh konstitusi dan undang-undang untuk kembali menjadi abdi negara yang profesional, berintegritas dan independen serta bebas dari intervensi politik.
“Sikap netral dari pengaruh politik yang dimiliki oleh ASN menjadi hal yang wajib ada dalam diri ASN. Sebagai aparatur pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat, yang secara langsung berinteraksi dengan masyarakat, netralitas terhadap politik harus dimiliki oleh ASN agar tidak terlibat menjadi anggota partai politik dan terhindar dari kepentingan-kepentingan politik yang mengarahkan ASN untuk dapat memobilisasi massa atau masyarakat untuk memenuhi kepentingan politik tersebut.